PATUH
Dalam
dunia sufi, patuh kepada Guru secara zahir dan bathin merupakan syarat mutlak
yang tidak bisa di tawar-tawar, hal yang wajib di penuhi oleh seorang murid
agar dia berhasil dan tercapai tujuan dari berguru yaitu makrifat kepada Allah
dan mendapat rahmat dan karunia-Nya. Dikalangan sufi, ilmu bukanlah hal yang
pokok, amalan juga bukan hal utama, yang terpenting dari semua itu adalah PATUH
kepada apa yang diperintahkan atau apa yang dilarang oleh Guru.
Dalam
sebuah riwayat, Syekh Abdul Qadir Jailani ketika masih menjadi seorang murid
tinggal bersama dengan Gurunya dan pada suatu malam dia terlambat pulang.
Ketika mencoba membuka pintu, ternyata pintu itu terkunci. Karena Adab yang
tinggi kepada Gurunya, dia tidak berani mengetuk pintu yang tentu saja akan
mengganggu tidur Gurunya, kemudian dia tidur di depan pintu rumah sampai subuh.
Ketika Gurunya keluar saat subuh, Abdul Qadir masih tidur kemudian terbangun.
Gurunya kemudian bertanya, “Kenapa kamu tidur di sini?” Abdul Qadir
menjawab, “Saya tidak berani membangunkan Guru”, kemudian Gurunya
berkata, “Kamu sekarang menjadi seorang Wali!”.
Kisah
Raden Sa’id yang menjaga tongkat Sunan Bonang sangat terkenal di masyarakat
jawa dimana Raden Sa’id dengan patuh tanpa bertanya menjaga tongkat Gurunya
dalam waktu yang lama. Berkat kepatuhan tersebut, Raden Sa’id kemudian diterima
menjadi murid Sunan Bonang dan kemudian mengikuti jejek Gurunya menyebarkan
agama Islam, menjadi seorang Wali Allah yang dikenal dengan gelar Sunan
Kalijaga.
Kepatuhan
kepada Guru bukanlah ajaran yang tiba-tiba muncul atau dibuat-buat, akan tetapi
ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak zaman Nabi. Para sahabat sangat
tinggi kepatuhannya kepada Nabi dan mereka hanya mengenal dua kata, “Sami’na wa
Atha’na”, Kami dengar dan kami patuhi.
Apapun yang diperintahkan Nabi dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh mereka dan apapun yang dilarang Nabi ditinggalkan oleh mereka. Tradisi ini kemudian secara turun temurun terpelihara di kalangan sufi, dikalangan para Wali Allah sampai saat ini dan sampai akhir zaman.
Apapun yang diperintahkan Nabi dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh mereka dan apapun yang dilarang Nabi ditinggalkan oleh mereka. Tradisi ini kemudian secara turun temurun terpelihara di kalangan sufi, dikalangan para Wali Allah sampai saat ini dan sampai akhir zaman.
Guru
Sufi mengatakan, “Setinggi apapun ilmu yang dimiliki seseorang dan sebanyak
apapun amal yang kerjakannya tanpa ADAB maka hasilnya NOL”. Adab yang dimaksud
disini salah satunya adalah kepatuhan kepada Guru. Beliau juga mengatakan bahwa
ilmu hakikat itu turun dari Guru kepada murid dengan kasih sayang, dengan
demikian kapatuhan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh murid
sehingga kasih sayang Guru akan tercurahkan kepadanya.
Dengan
di awali kepatuhan maka akan timbul rasa sayang dan cinta kepada Guru, dengan
rasa itu pula akan tercurahkan kasih dan sayang dari Guru kepada kita.
Mencintai orang yang dicintai oleh Allah maka Allah akan mencintai kita,
menyayangi orang yang di sayangi oleh Allah maka Allah akan sayang kepada kita,
inilah hal pokok yang harus dipenuhi oleh murid.
Seorang
Wali Allah pasti memberikan perintah kepada muridnya bukan atas kehendak
hatinya apalagi atas dasar hawa nafsu, Guru memberikan perintah atau menyuruh
muridnya melakukan sesuatu pasti sebelumnya telah meminta persetujuan dari
Allah lewat Muraqabah yang dimilikinya.
Setiap
tindakan apapun yang dilakukan oleh Wali Allah kesemuanya berdasarkan firman
Allah baik yang tertulis maupun yang langsung di ilhamkan Allah kedalam
hatinya. Atas dasarnya itu maka seorang murid harus mempunyai keyakinan yang
penuh kepada Guru, tidak ada keraguan sedikitpun, dengan demikian maka dalam
mematuhi apa yang diperintahkan Guru bukan dalam kondisi terpaksa tapi dengan
keikhlasan hati.
Harus
diakui kepatuhan kepada Guru ini mendapat kritikan dikalangan orang-orang yang
anti tarekat karena mereka tidak memahami hakikat dari kepatuhan itu sendiri.
Kepatuhan mutlak ini hanya berlaku kepada Guru yang mempunyai derajat seorang
Wali, sedangkan untuk yang tidak mempunyai derajat seperti itu tentu saja hal
ini tidak berlaku. Seorang Wali Allah tidak mungkin menyuruh muridnya hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran Agama, Hukum Negara dan yang melanggar
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Guru hanya menyuruh muridnya untuk
mengamalkan apa yang telah diajarkan kepadanya, memperbanyak ibadah dan dzikir
serta selalu menambah pengetahuan baik tentang syariat agama maupun ilmu-ilmu
lain.
Hanya
kepatuhan kepada Guru yang menyebabkan hijab akan terbuka sehingga bisa
memandang hal yang tidak pernah terlintas dalam pikiran, bisa menyaksikan
keagungan-Nya dan dengan kepatuhan itu pula akan melatih kita patuh kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Semoga
tulisan ini bermanfaat….
Tidak ada komentar: