Kisah Teladan MBAH HASYIM ASY’ARI DAN MBAH AHMAD DAHLAN
Kisah
Teladan KH. Hasyim Asy’ari Tentang Muhammadiyah
1.
KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta, 1868-1923)
Beliaulah Muhammad Darwis bin Abu Bakar bin Muhammad
Sulaiman bin Murtadha bin Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang
Djurung Djuru Sapisan bin Sulaiman (Ki Ageng Gribig) bin Muhammad Fadhlullah
(Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Muhammadiyyah lahir 18 November 1912/8 Dzullhijjah
1330, dengan pondasi ayat: “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat
yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran ayat 104).
2.
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang, 1875-1947)
Beliaulah Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abu Sarwan
bin Abdul Wahid bin Abdul Halim bin Abdurrahman (Pangeran Samhud Bagda) bin
Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir) bin Maulana ‘Ainul
Yaqin (Sunan Giri).
Nahdlatul Ulama lahir 31 Januari 1926/16 Rajab 1344,
dengan pondasi ayat: “Dan berpeganglah kalian kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kalian
dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kau
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kau telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkanmu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kalian mendapat petunjuk.” (QS. Ali
Imran ayat 103).
MBAH
HASYIM ASY’ARI DAN MBAH AHMAD DAHLAN
Oleh:
KH. Yahya Cholil Staquf
Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim bin Asy’ari
Basyaiban adalah kyai semesta. Guru dari segala kyai di tanah Jawa. Beliau kyai
paripurna. Apapun yang beliau dawuhkan menjadi tongkat penuntun seumur hidup
bagi santri-santrinya, bahkan sesudah wafatnya.
Nahdlatul Ulama adalah warisan beliau yang terus
dilestarikan hingga para cucu-santri dan para buyut-santri, hingga sekarang.
Segerombol jama’ah dalam merek jam’iyyah yang kurang rapi, sebuah ikatan yang
ideologinya susah diidentifikasi, identitas yang nyaris tanpa definisi, tapi
toh begitu terasa balutannya, bagi mereka yang -entah kenapa- mencintainya.
Barangkali karena memang Nahdlatul Ulama itu ikatan
yang azali, cap yang dilekatkan pada ruh sejak dari sononya, sebagaimana
Hadhratus Syaikh sendiri mencandranya:
بيني
وبينكم في المحبة نسبة
مستورة في سر هذا العالم
نحن الذون تحاببت أرواحنا
من قبل خلق الله طينة آدم
مستورة في سر هذا العالم
نحن الذون تحاببت أرواحنا
من قبل خلق الله طينة آدم
“Antara
aku dan kalian ada tautan cinta
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta lempungnya Adam.”
Tersembunyi dibalik rahasia alam
Arwah kita sudah saling mencinta
Sebelum Allah mencipta lempungnya Adam.”
Ke-NU-an sejati ada di hati, bukan nomor anggota.
Kyai Abdul Karim Hasyim, putera Hadhratus Syaikh
sendiri, menolak ikut ketika NU keluar dari Masyumi. Demikian pula salah
seorang santri Hadhratus Syaikh, Kyai Majid, ayahanda Almarhum Prof. Dr.
Nurcholis Majid. Mereka berdua memilih tetap di dalam Masyumi. Apakah mereka
tak lagi NU? Belum tentu. Mereka memilih sikap itu karena berpegang pada
pernyataan Hadhratus Syaikh semasa hidupnya (NU keluar dari Masyumi sesudah
Hadlratusy Syaikh wafat): “Masyumi adalah satu-satunya partai bagi ummat Islam
Indonesia!”
Apakah sikap pilihan mereka itu mu’tabar atau tidak,
adalah soal ijtihadi. Tapi saya sungguh ingin mempercayai bahwa di hati mereka
berdua tetap bersemayam ke-NU-an yang berpendar-pendar cahayanya.
Pada suatu hari di awal abad ke-20, salah seorang
santri datang ke Tebuireng untuk mengadu. Santri itu Basyir namanya, berasal
dari kampung Kauman, Yogyakarta. Kepada kyai panutan mutlaknya itu, santri
Basyir mengadu tentang seorang tetangganya yang baru pulang dari mukim di
Makkah, yang kemudian membuat odo-odo “aneh” sehingga memancing kontroversi di
antara masyarakat kampungnya.
“Siapa namanya?” tanya Hadhratus Syaikh.
“Ahmad Dahlan”
“Bagaimana ciri-cirinya?”
Santri Basyir menggambarkannya.
“Oh! Itu Kang Dahlan!” Hadhratus Syaikh berseru
gembira. Orang itu, beliau sudah mengenalnya. Teman semajlis dalam
pengajian-pengajian Syaikh Khatib al-Minangkabawi di Makkah sana.
“Tidak apa-apa”, kata Hadhratus Syaikh, “yang dia
lakukan itu ndalan (ada dasarnya). Kamu jangan ikut-ikutan memusuhinya. Malah
sebaiknya kamu bantu dia”.
Santri Basyir patuh. Maka ketika kemudian Kyai Ahmad
Dahlan medirikan Muhammadiyah, Kyai Basyir adalah salah seorang tangan kanan
utamanya.
Apakah Kyai Basyir “tak pernah NU”? Belum tentu.
Puteranya, Azhar bin Basyir, beliau titipkan kepada Kyai Abdul Qodir Munawwir
(Kakak ipar Kyai Ali Ma’shum) di Krapyak, Yogyakarta, untuk memperoleh
pendidikan al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pengajian-pengajian Kyai Ali
Ma’shum pun tak ditinggalkannya.
Belakangan, Kyai Azhar bin Basyir terpilih sebagai
Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan AR Fahruddin. Kepada teman sekamar
saya, Rustamhari namanya, anak Godean yang menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah UGM, saya gemar meledek: “Kamu nggak usah macam-macam”, kata saya
waktu itu, “ketuamu itu ORANG NU!”
Sumber : kumpulanbiografiulama
Tidak ada komentar: