KH Hasyim Asy’ari
Kebesaran
Jiwa dan Sikap Toleran KH Hasyim Asy’ari
Hadratus Syekh Kiai Haji Hasyim Asy’ari lahir dengan
nama Mohammad Hasjim Asy’arie, tepatnya di Kabupaten Jombang pada tanggal 14
Februari 1871. Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari sepuluh bersaudara
dengan sosok ayah bernama Kiai Asy’ari, pengasuh Pesantren Keras di Jombang
sebelah Selatan.
Ia memiliki garis keturunan dengan Sultan Pajang
(Jaka Tingkir/Adipati Adiwijaya) dan masih terkait dengan Raja Majapahit, Raja
Brawijaya V. KH Hasyim Asy’ari mempunyai sanad keilmuan yang panjang. Tetapi
dasar-dasar pelajaran agama Islam ia peroleh dari bimbingan sang kakek, yakni
Kiai Usman yang juga seorang pimpinan Pesantren Nggedang di Jombang.
Sewaktu menginjak usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari muda
berkelana menimba ilmu dari berbagai tokoh dan pesantren. Beberapa di antaranya
yang tercatat; Pesantren Siwalan di Sidoarjo, Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang dan
Pesantren Kademangan di bawah pengajaran Syaikhona Kholil (Bangkalan) bersama
KH Ahmad Dahlan muda.
Beberapa tahun kemudian, setelah dianggap oleh
Syaikh Kholil tamat, ia bersama tiga teman bergurunya disuruh pulang dan
melanjutkan perjalanan masing-masing dengan dibekali barang
sendiri-sendiri.
KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan diberi kitab
untuk dingajikan ke Kiai Soleh Darat. Sementara dua teman yang lain; yakni Mbah
Zahid (Kakek dari Emha Ainun Nadjib) diberi cincin, KH Romli diberi pisang
emas.
Dari bimbingan Syaikh Kholil, lalu dilanjutkan oleh
Kiai Soleh Darat, Hasyim Asy’ari melanjutkan pencarian ilmu ke Kota Mekkah.
Setibanya di sana, awalnya KH Hasyim Asy’ari mengaji Shahih Bukhori di bawah
bimbingan Syaikh Mahfudz dari Tremas (Pacitan). Sejak itulah, KH Hasyim Asy’ari
mulai mencintai hadits, sekaligus mendalami ilmu tasawuf serta tarekat
qadiriyah dan naqsabandiyah.
Selain kepada Syaikh Mahfudz, KH Hasyim Asy’ari juga
menimba ilmu dari Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang ahli di bidang ilmu
falak, ilmu hisab (matematika) dan fiqih madzhab Syafi’i.
Pada saat kembali ke bumi kelahirannya, KH Hasyim
Asy’ari pun mendirikan Pesantren Tebuireng dengan bantuan Mbah Zahid pada tahun
1899. Beliau mengisi pengajian hadits dan mempopulerkannya—karena pada masa itu
kebanyakan Pesantren terlalu fokus mengajarkan tarekat saja.
Setelah Pesantren Tebuireng sukses mendatangkan
santri-santri dari berbagai penjuru Nusantara, dan jaringan terbangun semakin
baik dengan para Kiai di Jawa Timur, KH Hasyim Asy’ari pun mendirikan Nahdlatul
Ulama pada tahun 1926 sebagai wadah kebangkitan para ulama untuk
menyejahterakan umat dan lepas dari belenggu penjajah.
Bukti yang menunjukkan peran KH Hasyim Asy’ari
sangat krusial ialah ketika Bung Tomo dan bahkan Bung Karno meminta fatwa dari
beliau tentang hukum melawan penjajah. Dari situlah lahir “Resolusi Jihad” yang
kemudian membuahkan perjuangan para pemuda pada tanggal 10 November di Surabaya
melawan Belanda.
Namun, meski KH Hasyim Asy’ari adalah ulama
kharismatik yang kedalaman ilmunya tidak diragukan, tetapi beliau tetap tidak
lantas bersikap gagah dan tinggi hati. Justru karena kedalaman ilmu beliau lah
yang menjadikannya sosok pengayom masyarakat yang welas-asih dan toleran.
“Ilmu ada 3 tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan
pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahap kedua, ia akan tawadhu’. Dan
jika ia memasuki tahapan yang ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada
apa-apanya.”
-Sayyidina Umar Ibn Khattab-
-Sayyidina Umar Ibn Khattab-
Tentang sikap toleran KH Hasyim Asy’ari dapat
teramati dalam kisah ketika salah seorang santrinya yang baru datang dari
Yogyakarta hendak melaporkan sesuatu. Menurut pengakuan santri tersebut, ia
melihat sekelompok aliran sesat. KH Hasyim pun bertanya-tanya mengenai aliran
sesat tersebut. Santri lantas menjelaskan ciri-ciri aliran yang ditemuinya itu.
Ungkap sang santri bahwa aliran tersebut memiliki
perbedaan yaitu tidak melaksanakan pembacaan qunut ketika Subuh dan pimpinannya
bergaul dengan organisasi Budi Utomo. Ditanyakanlah oleh KH Hasyim Asy’ari
siapa pemimpin dari kelompok tersebut. Santri menjawab Ahmad Dahlan.
Sontak KH Hasyim Asy’ari pun tersenyum sambil
menyahut, “Oh, Kang Darwis, toh?” Setelah mendengarkan penuturan santri
tersebut, beliau lantas menceritakan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah temannya
ketika di Mekkah. Beliau juga menjelaskan bahwa aliran yang dimaksud sang
santri itu tidaklah sesat. Malah kemudian KH Hasyim Asy’ari berkata, “Ayo padha
disokong!” (Ayo, kita dukung sepenuhnya).
Abu Musa meriwayatkan, Nabi Muhammad SAW
bersabda:
“Kaum mukmin adalah bersaudara satu sama lain.
Ibarat dalam suatu bangunan, satu bagian memperkuat bagian lainnya.” Kemudian
beliau menyelipkan jari-jari di satu tangan dengan jemari tangan lainnya agar
kedua tangannya tergabung.
(HR. Bukhori)
Dari cerita di atas, ada hikmah berharga yang perlu
untuk kita catat. Sikap KH Hasyim Asy’ari ketika mendengarkan penuturan
santrinya tentang aliran sesat, beliau merespon dengan bijaksana yaitu
menanyakannya secara detail terlebih dahulu sebelum memberikan pernyataan.
Kiai Tebuireng ini tidak tergesa-gesa memberikan
judgement karena pengalaman selama di Timur Tengah telah memberikannya
pandangan luas dan pemahaman yang baik tentang persoalan perbedaan furu’iyyah
yang wajar terjadi.
Bahkan KH Hasyim Asy’ari ketika melihat potensi
gesekan antara NU dan Muhammadiyah semakin tajam, beliau sempat menuturkan di
hadapan para santrinya, “Kita dan Muhammadiyah itu sama. Kita taqlid
qauliy (mengambil pendapat ulama salaf), mereka taqlid manhaji (mengambil
metode).”
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata;
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Oleh sebab itu, janganlah menzalimi, meremehkan, dan jangan pula menyakitinya.”
(HR. Ahmad)
Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Oleh sebab itu, janganlah menzalimi, meremehkan, dan jangan pula menyakitinya.”
(HR. Ahmad)
Dari sikap lemah lembut, arif dan bijaksana yang
dimiliki Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, dapat kita renungkan secara bersama
bahwa sekali lagi perbedaan itu wajar dan suatu keniscayaan.
Sikap yang perlu ditumbuhkan dalam diri kita adalah
rasa saling menghargai dan menerima perbedaan tersebut untuk justru
menikmatinya sebagai suatu anugerah, rahmat dan berkah dari Allah yang
menjadikan dunia ini penuh warna. Bukankah seperti lukisan dan pelangi, dunia
akan indah jika penuh dengan warna-warni? Wallahu A’lam. (M. Naufal
Waliyuddin)
Tidak ada komentar: