Imam at-Thabari
Ketika
Imam at-Thabari Sedih atas Rendahnya Minat Baca
Dalam
kitab Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, Imam Tajuddin Abdul Wahhab
al-Subki mencantumkan sebuah riwayat gundahnya Imam at-Thabari tentang
rendahnya minat baca. Berikut riwayatnya:
وروى أَن أَبَا جَعْفَر
قَالَ لأَصْحَابه: أتنشطون لتفسير الْقُرْآن قَالُوا كم يكون قدره فَقَالَ ثَلَاثُونَ
ألف ورقة فَقَالُوا هَذَا مِمَّا تفنى الْأَعْمَار قبل تَمَامه, فَاخْتَصَرَهُ فى نَحْو
ثَلَاثَة آلَاف ورقة
ثمَّ قَالَ: هَل تنشطون
لتاريخ الْعَالم من آدم إِلَى وقتنا هَذَا, قَالُوا كم قدره, فَذكر نَحوا مِمَّا ذكره
فى التَّفْسِير, فأجوبوه بِمثل ذَلِك فَقَالَ إِنَّا لله مَاتَت الهمم فَاخْتَصَرَهُ
فى نَحْو مَا اختصر التَّفْسِير
Diriwayatkan
bahwa Abu Ja’far (at-Thabari) berkata pada teman-temannya: “Apakah kalian
senang (mempelajari) tafsir Al-Qur’an?” Mereka menjawab: “Berapa (lembar)
kira-kira (tebal)nya?” Abu Ja’far berkata: “Tiga puluh ribu lembar.” Mereka
berkata: “Ini akan mengabiskan usia sebelum selesai (membaca)nya.” Maka Abu
Ja’far meringkas kitab tafsirnya sekitar tiga ribu lembar saja.
Kemudian
ia bertanya (lagi): “Apakah kalian senang (mempelajari) sejarah dunia dari
mulai Adam sampai masa kita sekarang ini?” Mereka menjawab: “Berapa
(lembar) kira-kira (tebal)nya?” Abu Ja’far menyebut hampir sama dengan kitab
tafsir tadi. Maka jawaban mereka sama persis dengan pertanyaan pertama.
Kemudian Abu Ja’far berkata: “Innâ lillâhi, semangat (benar-benar) telah mati.”
Maka at-Thabari meringkas kitab sejarahnya sesuai dengan (jumlah halaman) kitab
tafsirnya. (Imam Tajuddin al-Subki, Thabaqât al-Syâfi’iyyah al-Kubrâ,
Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, tt, juz 3, h. 123)
****
Imam
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabari (224-310 H) adalah seorang mujathid
(pendiri mazhab Jariri), mufassir, muhaddits, sejarahwan, ahli fiqih dan cukup
menguasai ilmu kedokteran. Ia menulis banyak kitab, sebut saja Tahdzîb
al-Atsâr, al-Tabshîrah fî Ma’âlim al-Dîn, Ikhtilâf al-‘Ulamâ’
al-Amshâr fî Ahkâm Syarâ’i’ al-Islâm, al-Fashl bain al-Qirâ’ât, Sharîh
al-Sunnah, dan lain sebagainya.
Di
antara kitab-kitabnya, yang paling terkenal adalah Tarîkh al-Umam wa
al-Mulûk (Tarîkh at-Thabari, kitab sejarah) dan Jâmi’ al-Bayân ‘an
Ta’wîl Ayyi al-Qur’ân (Tafsîr at-Thabari, kitab tafsir). Dua kitab inilah
yang ditanyakan Imam at-Thabari kepada teman-temannya, tapi jawaban mereka
membuatnya mengernyitkan dahi. Hal pertama yang mereka tanyakan adalah seberapa
tebal dua kitab itu, bukan pertanyaan ‘seperti apa isinya’, ‘bagaimana
metodologi penyusunannya’, atau ‘kenapa penting membacanya’. Tentu saja jawaban
mereka membuat Imam at-Thabari kecewa, sampai ia mengatakan, “innâ lillâhi!
mâtat al-himam—sungguh kita adalah milik Allah! Semangat benar-benar telah hilang.”
Akhirnya, ia memutuskan untuk meringkas dua kitab itu, dan ringkasan itulah
yang sampai pada kita sekarang ini.
Bayangkan
saja, jika Imam at-Thabari tidak meringkas dua kitab itu, kita akan disuguhi
data yang kaya dan melimpah. Wawasan kita tentang tafsir akan bertambah.
Informasi kita tentang sejarah akan semakin luas. Kitab yang sampai kepada kita
sekarang ini hanya sepuluh persennya saja, tiga ribu lembar dari tiga puluh
ribu. Memang sih, tiga ribu halaman sudah cukup berat untuk dibaca, bahkan mungkin
kita tidak pernah membacanya sama sekali.
Apalagi
sekarang ini, kita berada di masa yang membingungkan. Maksudnya, minat komentar
kita lebih besar dari minat baca kita; minat share kita lebih tinggi dari minat
meneliti kita; minat menghakimi kita lebih unggul dari minat memahami kita.
Jadi, ya ada hikmahnya juga sih Imam at-Thabari meringkas kitabnya, jika tidak,
mungkin puluhan ribu halaman itu sekadar tulisan yang tak pernah bertemu mata.
Bisa jadi hanya menjadi beban penerbit karena biaya yang dikeluarkan terlalu
besar untuk mencetaknya.
Tentunya kita
semua tahu, menuntut ilmu hukumnya wajib, dan membaca adalah pintu masuknya.
Banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menekankan ini.
Rasulullah bersabda (HR. Imam al-Bukhari dan Imam al-Muslim):
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا
فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ
أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
“Barangsiapa
yang menginginkan (hal-hal yang berkaitan) dunia, maka ia harus (menguasai)
ilmu(nya). Barangsiapa yang menginginkan (hal-hal yang berkaitan) akhirat, maka
ia harus (menguasai) ilmu(nya). Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka ia
harus (menguasai) ilmu(nya).”
Maka
dari itu, kita harus mulai menggemarkan diri membaca. Dengan membaca, kita
diakrabkan dengan banyak pikiran, sudut pandang dan wawasan. Rene Descrates
berkata, “The reading of all good books is like a conversation with the finest
minds of past centuries—membaca buku-buku bagus seperti berbincang dengan
pikiran terbaik dari masa lalu.” Sebab, dalam buku terdapat banyak misteri,
seperti berpetualang dalam hutan, setiap kali kita memasukinya, setiap kali itu
pula kita menemukan fenomena baru, pengalaman baru, tempat baru dan suasana
baru. Imam al-Muzani mengatakan:
قرأت كتاب الرسالة
للشافعي خمسمائة مرة، ما من مرة منها إلا واستفدت فائدة جديدة لم أستفدها في الأخرى
“Aku sudah
membaca kitab al-Risalah karya Imam Syafi’i lima ratus kali, setiap kali
membacanya, aku menemukan faidah baru (ilmu baru) yang tidak kutemukan (di saat
membacanya) di waktu lain.” (Syekh Abdul Halim al-Jundi, Imâm al-Syâfi’i:
Nâshir al-Sunnah wa Wâdli’ al-Ushûl, Kairo: Darul Ma’arif, tt, h. 195)
Dengan
banyak membaca buku, dan menelaah isinya dengan sungguh-sungguh, kita sedang
melakukan proses pendewasaan pikiran, perspektif dan wawasan. Buku adalah pintu
masuk pengetahuan sekaligus pintu keluar pengalaman. Artinya, memilih bacaan
tak kalah pentingnya dari membaca. Jika sekadar membaca, orang-orang sudah
melakukannya dengan membaca status di media sosial dan membuat status agar
dibaca orang.
Karena
itu, kita perlu belajar pada Malcolm X, seorang pelaku kriminal yang tidak
berpendidikan. Ia, tiba-tiba saja, berubah menjadi orator ulung, ahli diskusi
luar biasa, dan intelektual mumpuni. Ia menjadi tokoh Islam yang berpengaruh
karena kegemarannya membaca dan belajar. Ia mengatakan, “My alma mater was
books, a good library. I could spend the rest of my life reading, just
satisfying my curiosity—almamaterku adalah buku, (dan) perpustakaan yang bagus.
Aku bisa menghabiskan sisi hidupku membaca, hanya untuk memuaskan
keingin-tahuanku.” Jadi, tunggu apa lagi, ayo membaca!
Wallahu
a’lam...
Muhammad
Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen.
Tidak ada komentar: