Kepergian Gus Dur Megetarkan Ulama dan Santri Indonesia
Franz
Magnis-Suseno*
Meskipun
tahu bahwa Gus Dur sakit-sakitan, saat kemarin Tuhan mengatakan, "Gus, sudah
cukup!", mengagetkan juga. Banyak dari kita, khususnya tokoh dan umat
berbagai agama di Indonesia, merasa kehilangan. Kita menyertai arwahnya dengan
doa-doa kita agar ia dengan aman, gembira, dan pasti terheran-heran dapat
sampai ke asal-usulnya.
Betapa luar
biasa Abdurrahman Wahid, Gus Dur kita ini! Seorang nasionalis Indonesia seratus
persen, dengan wawasan kemanusiaan universal. Seorang tokoh Muslim yang
sekaligus pluralis dan melindungi umat- umat beragama lain. Enteng-enteng saja
dalaAm segala situasi, tetapi selalu berbobot; acuh-tak acuh, tetapi tak habis
peduli dengan nasib bangsanya. Orang pesantren yang suka mendengarkan
simfoni-simfoni Beethoven.
Rahasia Gus
Dur adalah bahwa ia sama sekali mantap dengan dirinya sendiri. Ia percaya diri.
Ia total bebas dari segala perasaan minder. Karena ia tidak pernah takut
mengalah kalau itu lebih tepat, ia tidak takut kehilangan muka (dan karena itu
memang tak pernah kehilangan muka), dan ia juga tidak gampang tersinggung
karena hal-hal sepele.
Gus Dur berhati
terbuka bagi semua minoritas, para tertindas, para korban pelanggaran hak-hak
asasi manusia. Umat-umat minoritas merasa aman padanya. Gus Dur membuat mereka
merasa terhormat, ia mengakui martabat mereka para minoritas, para tertindas,
para korban.
Tak perlu
defensif
Ada yang
tidak mengerti mengapa Gus Dur begitu ramah terhadap agama-agama minoritas,
tetapi sering keras terhadap agamanya sendiri. Namun, Gus Dur demikian karena
ia begitu mantap dalam agamanya. Karena itu, ia tidak perlu defensif dan tidak
takut bahwa agamanya dirugikan kalau ia terbuka terhadap mereka yang berbeda.
Apakah Gus
Dur seorang demokrat? Ia sendiri sebenarnya lebih menyerupai kombinasi antara
kiai dan raja Jawa. Namun, ia seorang demokrat dalam arti yang lebih mendalam.
Ia betul-betul meyakini dan menghayati hak-hak asasi manusia. Ia tidak tahan
melihat seseorang terinjak martabatnya, ia menentang kekejaman atas nama apa
pun.
Bagi saya,
Gus Dur mewujudkan Islam yang percaya diri, positif, terbuka, ramah. Dengan
demikian, ia memproyeksikan gambar yang positif tentang Islam. Dan, kalau pada
kunjungan negara ia menyalami kepala negara lain dengan lelucon, mereka
menyadari bahwa presiden Muslim ini seorang humanis dan warga dunia.
Bahwa karier
politik aktif Gus Dur kontroversial berkaitan juga dengan kenyataan bahwa ia
tidak dapat melihat. Keterbukaannya tidak pernah berubah.
Apa yang
tinggal sesudah Gus Dur pergi? Sekurang-kurangnya dua. Pertama, hubungan begitu
baik antara umat beragama yang dirintisnya akan berkembang terus.
Kedua, dengan
generasi muda NU, Gus Dur meninggalkan kader intelektual bangsa yang terbuka,
pluralis, dan cerdas; modal bagus bagi masa depan bangsa.
Yang
dirintis Gus Dur akan berjalan terus. Nevertheless, Gus, we will miss you.
Resquiescat in pace.
*Franz
Magnis-Suseno Rohaniwan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Sumber:
Kompas, Senin, 4 Januari 2010 | 02:53 WIB
Tidak ada komentar: