SEPOTONG KATA PLURALISME GUS DUR, GAGASAN PARA SUFI




Oleh: KH. Husein Muhammad


Gus Dur adalah Bapak Pluralisme, terserah jika ada orang yang tidak suka atau berbeda pendapat dengan sebutan ini, termasuk para pecintanya sendiri. Konon, Djohan Efendi, sahabat setia Gus Dur, pernah diminta Gus Dur agar jika ia kelak wafat, nisannya ditulis “Di Sini Dikubur Sang Pluralis”. Terlepas pesan itu benar diucapkan Gus Dur atau tidak, dan tak peduli masyarakat memperdebatkan maknanya, tetapi beliau orang yang selalu ingin memandang manusia, siapapun dia dan di manapun dia berada, sebagai manusia yang adalah ciptaan Tuhan.

Sebagaimana Tuhan menghormatinya, Gus Dur juga ingin menghormatinya. Sebagaimana Tuhan mengasihi makhlukNya, Gus Dur juga ingin mengasihinya. “Takhallaq bi Akhlaq Allah” (berakhlaklah dengan akhlak Allah), kata pepatah sufi. Sejauh yang saya tahu, Gus Dur tak banyak bicara soal wacana Pluralisme berikut dalil-dalil teologisnya. Tetapi ia mengamalkan, mempraktikkan dan memberi mereka contoh atasnya.

Pluralisme jauh lebih banyak dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari Gus Dur dibanding diwacanakan. Kalaupun ia diminta dalil agama, ia akan menyampaikan ayat al-Quran ini : “Wahai manusia, Aku ciptakan kalian terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dan Aku jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya manusia yang paling mulia di antara kalian di mataKu, ialah orang yang paling bertaqwa kepadaKu.”

“Li ta’arafu” (saling mengenal), tidak sekedar tahu nama, alamat rumah, nomor handphone, atau tahu wajah dan tubuh yang lain. Saling mengenal adalah memahami kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, pikiran, hasrat yang lain, yang berbeda, yang tak sama. Lebih dari segalanya “li ta’arafu” berarti agar kalian saling menjadi arif bagi yang lain.

Yang paling mulia di hadapan Tuhan adalah yang paling taqwa, bukan yang paling gagah atau cantik, bukan yang paling kaya atau rumah megah. Taqwa bukan sekedar dan hanya berarti sering datang ke masjid atau menghadiri secara rutin majlis ta’lim, membaca kitab suci, memutar-mutar tasbih, bangun malam, atau puasa saban hari. Tetapi lebih dari itu taqwa adalah mengendalikan amarah, hasrat-hasrat rendah, menjaga hati, tidak melukai, tidak mengancam, ramah, sabar, rendah hati dan sejuta makna kebaikan kepada yang lain dan kepada alam.

Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyampaikan makna taqwa dengan menyitir ayat-ayat al-Quran ini:

REPORT THIS AD

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.(QS. al-Baqarah ayat 177).

Semua itulah makna taqwa yang dipahami Gus Dur. Dari ayat al-Quran ini Gus Dur sering mengatakan bahwa Islam itu terdiri dari 3 rukun (pilar): Rukun Iman, Rukun Islam, dan Rukun Tetangga. Saya kira apa yang dimaksud Gus Dur tentang rukun yang ke tiga ini adalah Rukun Kemanusiaan. Gus Dur tentu bukan tidak tahu Rukun ini dalam konteks tradisi Islam disebut Ihsan. Tetapi Ihsan dalam pengertiannya adalah Kemanusiaan tadi.

Dengan itu, Gus Dur tampaknya ingin menggugah kesadaran kaum muslimin agar tidak mengabaikan atau mereduksi rukun tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa ia menjadi tujuan dari agama dalam kehidupan manusia di dunia. Maka Gus Dur, sering bicara tentang kejujuran, keteguhan/kesabaran dalam berjuang, menghargai orang dan mengadvokasi siapa saja yang menderita dan yang ditindas. Lebih dari itu, ia bukan hanya sekedar menghargai atau menghormati manusia yang berbuat baik, melainkan juga menyambutnya dengan rendah hati dan rengkuhan yang hangat.

Sebaliknya, ia akan menentang siapa saja yang merendahkan martabat manusia, apalagi menyakiti, mengurangi dan menghalangi hak-hak mereka. Ia akan membela mereka yang martabat kemanusiaannya direndahkan, mereka yang hak-haknya dikurangi, dipasung, disakiti dan ditelantarkan.

Ketika para pengikut Ahmadiah diusir dan masjid-masjid mereka dirobohkan, Gus Dur hadir bersama mereka. Ketika Gereja-gereja dilempari batu, ia berteriak “jangan”. Ketika Inul Daratisna dihujat ramai-ramai karena dia bergoyang-goyang dan meliuk-liukkan tubuhnya bagai bor, ia “memeluk”nya dengan hangat. Ketika Dorce disoraki karena berganti kelamin, ia mengajaknya bicara dengan lembut dan penuh kasih. “Jika itu adalah dirimu, teruslah bekerja”, katanya.

Ketika urusan gambar tubuh polos perempuan (pornografi) hendak diserahkan kepada Negara, ia berdemonstrasi bersama isteri tercintanya; Shinta Nuriah dan bersama-sama mereka yang menghargai kemanusiaan. Ketika orang-orang Thionghoa meminta hari raya Imlek dan Barongsae, ia memberikannya dengan tulus. Meski tak bisa melihat dengan matanya, ia hadir menyaksikan tarian-tarian singa itu dan bertepuk tangan. Gus Dur senang.

Seringkali kita melihat sikap perlawanan dan pembelaan itu dilakukannya sendirian. Ia berjalan sendiri, meski ia harus mempertaruhkan jiwanya. Ia tak peduli. Dalam perlawanannya terhadap pembredelan tabloid Monitor dan pembelaannya terhadap Salman Rusydi dalam kasus bukunya Satanic Verses, yang bikin heboh itu, misalnya, Gus Dur tak menemukan mata lain yang penuh pengertian. Ia berjalan sendiri.

Seorang sufi mengatakan: “Ia yang jiwanya telah mencapai kesadaran yang matang, bantuan eksternal tak lagi diperlukan”. Dan Gus Dur sanggup menjalaninya seorang diri dengan tegar, karena ia telah matang. “La Yakhaf Laumata Laa-im” (ia tak pernah takut pada mata yang membenci). Kata Gus Dur; “Ditempatkan di urutan manapun, Muhammad bin Abdullah tetap saja sang penghulu para nabi dan utusan Tuhan, Insan Kamil.”

Bagi Gus Dur semua manusia adalah sama, tak peduli dari mana asal usulnya, apa jenis kelamin mereka, warna kulit mereka, suku mereka, ras dan kebangsaan mereka. Yang Gus Dur lihat adalah bahwa mereka manusia seperti dirinya dan yang lain. Yang ia lihat adalah niat baik dan perbuatannya, seperti kata Nabi: “Tuhan tidak melihat tubuh dan wajahmu, melainkan amal dan hatimu.”

Gus Dur bukan tidak paham bahwa ada yang keliru, ada yang tidak ia setujui atau ada yang salah dari mereka yang dibelanya. Gus Dur tetap saja nembela mereka. Ia membela karena tubuh mereka diserang dan dilukai hanya karena baju agamanya yang berwarna lain, harta mereka dirampas semaunya, ekspresi-ekspresi diri mereka dihentikan secara paksa oleh negara atau direnggut dengan pedang oleh otoritas dominan dan kehormatan mereka diinjak-injak. Padahal mereka tak melakukan apa-apa. Membela kehormatan adalah perjuangan besar.

Bagi Gus Dur, ekspresi-ekspresi diri, personal, individual, yang dianggap sebagian orang sebagai tak bermoral, tak boleh melibatkan Negara, tak boleh diintervensi kekuasaan, tetapi harus diselesaikan sendiri oleh masyarakat dengan cara-cara yang mereka miliki dan dengan mengaji yang sungguh-sungguh, sampai khatam dan dengan ketulusan.

Bagi Gus Dur, keyakinan dan pikiran tak bisa dinamai tak bisa diberi tanda. Pikiran adalah misteri yang tersembunyi. Ia bagaikan burung yang terbang di langit lepas. Tuhanlah yang menganugerahkan pikiran-pikiran pada hamba-hambaNya. Dialah Pemilik nafas setiap yang hidup dan Dialah yang akan menanyainya kelak, bila tiba masanya. Karena itu, hanya Dialah yang berhak menamainya dan menghakiminya, tidak yang lain.

Kata Rumi dalam Fihi Ma Fihi:

لَيْسَ فِى وُسْعِكَ إِبْعَادُ تِلْكَ الْفِكَرِ عَنْكَ وَلَوْ بِمِائَةِ اَلْفِ جُهْدٍ وَسَعْيٍ

“Tak ada kemampuanmu menjauhkan pikiran-pikiran itu meski dengan seratus ribu kali rekayasa berkeringat.”

فَالْفِكَرُ مَا دَامَتْ فِى الْبَاطِنِ تَكُونُ دُونَ إِسْمٍ وَدُونَ عَلاَمَةٍ لاَ يُمْكِنُ الْحُكْمُ عَلَيْهَا بِكُفْرٍ وَلَا بِإِسْلاَمٍ.

“Sepanjang pikiran-pikiran tersembunyi di dalam, maka ia tak bernama dan tak bertanda. Ia tak mungkin dihukumi kafir atau islam.”

Begitulah sikap seorang yang telah memiliki batin yang bebas. Itulah sifat seorang sufi, seorang bijak-bestari yang jiwanya mampu menembus kedalaman makna kata-kata Tuhan. Kata-kataNya memiliki dan menyimpan berjuta makna dan tak terbatas. Pemaksaan atas pikiran dan keyakinan orang tak akan menghasilkan apa-apa, sia-sia, kecuali membuat orang dan keluarganya menjadi sakit, menderita, dan menghambat kemajuan orang dan peradaban manusia. Tak ada cara lain untuk menundukkan orang lain kecuali melalui bicara manis, tanpa marah-marah dan dengan otak yang cerdas. Jika tak tunduk, biarkan masing-masing berjalan sendiri-sendiri, sambil katakan saja: “Anda adalah anda dan aku adalah aku. Wassalam.”

Tindakan dan sikap itu, menurut Gus Dur, sesungguhnya telah diajarkan oleh Islam dan para Nabi sejak ribuan tahun lalu. Ia sering mengutip sumber literature Islam klasik yang bicara mengenai hak-hak individu. Salah satunya adalah al-Mustasyfa, karya Imam Abu Hamid al-Ghazali. Sufi besar ini mengatakan bahwa tujuan aturan agama adalah memberikan jaminan keselamatan keyakinan orang, keselamatan fisik, keselamatan profesi, kehormatan tubuh dan pemilikan harta. Al-Ghazali menyebut lima prinsip dasar perlindungan ini sebagai “al-Kulliyyat al-Khams”. Orang sering menyebutnya “Maqashid asy-Syari’ah” (tujuan-tujuan pengaturan kehidupan). Lima prinsip ini merupakan pemberian Tuhan pada setiap manusia yang tak ada seorang manusiapun berhak mengurangi atau menghilangkannya. Inilah basis fundamental (ar-Rukn al-Asasi) pikiran-pikiran dan langkah-langkah Gus Dur.

Meskipun Gus Dur membaca dan mengerti, tetapi ia tidak mengutip pandangan atau sumber dari Barat atau Yahudi, seperti dituduhkan sebagian orang. Ia menggalinya dari sumber tradisi Islam sendiri, dan ia mampu menginterpretasikan dengan cara-cara yang memukau dan genuine, sejalan dengan konteks kehidupan yang selalu bergerak. Ia memang sangat kaya dengan referensi tradisi Islam klasik ini berikut perangkat analisisnya: bahasa, sastra, logika, filsafat sosial, dan metode-metode keilmuan.

Melalui penjagaan atas lima prinsip dasar kemanusiaan universal tersebut, Gus Dur memimpikan berkembang dan tersebarnya persaudaraan manusia atas dasar kemanusiaan (Ukhuwwah Insaniyyah), tanpa dibatasi sekat-sekat primordial. Ini menurut saya sesungguhnya merupakan gagasan para sufi besar. Para sufi yang sejumlah namanya disebutkan di atas, adalah orang-orang yang paling vocal menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan universal itu. Tak ada keraguan sedikitpun di hati mereka pada prinsip utama agama bahwa tidak ada di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu yang ke hadapanNya seluruh yang maujud tunduk. Dan seluruh yang maujud (ada) sejak ia ada sampai keberadaannya tercabut, selalu dan terus mencari-cari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda.

عِبَارَاتُنَا شَتَّى وَحُسْنُكَ وَاحِدٌ وَكُلٌّ اِلَى ذَاكَ الْجَمَالِ يُشِيْرُ

Bahasa kita begitu beragam
tetapi Engkaulah Satu-satunya yang Indah
Dan kita masing-masing menuju
kepada Keindahan Yang Satu itu

Maka kebhinekaan realitas alam semesta ini seharusnya tidak menghalangi setiap manusia untuk memahami pikiran, bahasa dan kehendak-kehendak manusia yang lainnya. Para sufi memandang alam semesta yang beragam dan yang seluruhnya mengandung keindahan sebagai “tajalli” Tuhan, perwujudan rahmat dan keagunganNya di alam semesta. Keberanekaan berasal dari Tuhan. Dialah Sang Penciptanya.

Ibnu Athaillah, nama sufi besar yang dikagumi Gus Dur, banyak bicara soal Kesatuan Semesta, meneruskan gagasan Ibnu Arabi. Ibnu Ajibah mengomentari gagasan itu dalam syairnya yang indah:

أُنْظُرْ جَمَالِى شَاهِداً فِى كُلِّ إِنْسَان
اَلْمَاءُ يَجْرِى نَافِداً فِى أُسِّ الْاَغْصَان
تَجِدْهُ مَاءً وَاحِدًا وَالزَّهْرُ أَلْوَان

Lihatlah KeindahanKu
Tampak pada semua manusia
Air mengalir,
menembus
pokok dahan dan ranting
Engkau mendapatinya
Berasal dari satu mata air
Padahal bunga berwarna-warni

Nah, lagi-lagi di sini kita menemukan jalan yang ditempuh Gus Dur. Gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan pluralismenya ternyata berangkat dari tradisinya sendiri. Ia tekun mengaji kitab-kitab klasik raksasa dan primer sampai khatam. Sayang, kitab-kitab ini amat jarang dibaca orang atau dibaca tetapi hanya sampai kulit luar, yang tertulis, yang literal, harfiyah, dan tak khatam, tak selesai.

(Sumber: Majalah Cahaya Sufi)




Tidak ada komentar:

BESSI BAJA AL-JAWA. Diberdayakan oleh Blogger.