KH Hasyim Asy’ari
Biografi
KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU Tebuireng Jombang
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’ari, bagian
belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari, lahir 10 April 1875 (24
Dzulqaidah 1287H) dan wafat pada 25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng,
Jombang, adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar
di Indonesia.
Riwayat
Keluarga
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
KH Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga Kyai. Kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Silsilah
Nasab
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
Merunut kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH Hasyim Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Menurut
catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul
Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Pendidikan
:
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH Cholil Bangkalan.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah
dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.
Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren,
antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban,
Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan
Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren
Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim
merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal
sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama
–lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub
sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim
bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun,
dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah
menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah
haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan
anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak
itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh
Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal,
Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al
Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya,
Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai
Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang
sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim
istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga
pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari
bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Silsilah
Keilmuan
KH Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
KH Cholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali Al Haddad
Penerus
Beliau
(Murid) :
(Murid) :
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan
setelah lulus dari pesantren Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri
Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh
luas, antara lain:
KH Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras,
Jombang
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)
KH Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH R As’ad Syamsul Arifin
KH Wahid Hasyim (anaknya)
KH Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH R Asnawi (Kudus)
KH Dahlan (Kudus)
KH Shaleh (Tayu)
(Keturunan)
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Berikut disampaikan silsilah keturunan beliau sampai dengan tingkat cucu
Nyai Khodijah, istri pertama yang merupakan putri
dari Kyai Ya’qub, Sidoarjo. Meninggal dunia sewaktu Kyai Hasyim Asy’ari
menuntut ilmu di Mekkah
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Nyai Nafiqoh, istri kedua, setelah istri pertama wafat, yaitu putri dari Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun.
Putra-putri
dari Nyai Nafiqoh
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
(1) Hannah
(2) Khoiriyah
(3) Aisyah
(4) Azzah
(5) Abdul Wahid atau sering juga dipanggil sebagai Wahid Hasyim
(6) Abdul Hakim (Abdul Kholik)
(7) Abdul Karim
(8) Ubaidillah
(9) Mashuroh
(10) Muhammad Yusuf
Nyai
Masruroh, istri ketiga, setelah istri kedua wafat, yaitu putri dari Kyai Hasan,
pengasuh pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini,
Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu:
(1) Abdul Qodir
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub
(2) Fatimah
(3) Khotijah
(4) Muhammad Ya’kub
Jasa
dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah
Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari
gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh,
Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua
guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi,
antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di
Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat
mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah
dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang
dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu
ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh
dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua,
reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan
merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan
doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama
dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih
besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh
melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada
pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk
praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh,
walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika
kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya
adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian
dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan
kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri
dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk
memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa
mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem
mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti
buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat,
Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah
dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak
tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para
sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori
KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok
tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah
yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya
kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian
kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi
partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga
pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di
Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa
Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah
gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan
Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai
pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan
Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar
tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian
tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul
Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai
bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam
masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud,
berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia
juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini
banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan
hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan,
maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan
pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah
pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan
pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan
sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di
Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan
bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka
Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang
dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang
ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada
saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia
atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga
saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang
berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan
peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin
mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang
lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai
persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon
petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang
juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan
gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil
telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah
satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak KH R As’ad
Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk
menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga
dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai
Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar
ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah
agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian
organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu
kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali
datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk
menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang
dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih
sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh
dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab
khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang
menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah
satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya
Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai
Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak
keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah
jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai
Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M,
organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang
artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.
Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia,
bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini)
dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang
dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima
praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan
kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal
dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji
serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan
kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas
dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat
Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang
belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui
organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad
Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan
diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat
sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para
ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan
para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi
”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul
Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan
membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH
Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari
seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat
Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng
terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng
dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan
tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8
orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun pesantren Tebuireng,
Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah.
Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai
Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan
ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3)
Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul
Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat
sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan,
pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai
Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)
Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Jasa
Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)
(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang
demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah.
Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi
bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat
membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan
Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga
pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis
dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan
saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat
Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3
bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin,
karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya
kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya
itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng
bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak
luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang
pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar
beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda
untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai
dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian
mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang
baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren
porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif
Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan
de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai
Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda
yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan
kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah
penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini
dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban
berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai
simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari
(Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di
wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan
tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya
Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap
dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian
Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan
keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri
Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu
juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim,
Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara,
Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan
santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid
Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang,
terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA
(Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda
membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke
tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim
bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan
Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya.
Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari
kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan
gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum
meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai
politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi
merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai
Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai
Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan
laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kyai Hasyim.
Kisah
Teladan Beliau
Kesan
Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua
ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya.
“Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah
murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga
kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru
salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu,
dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap,
tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini,
menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal
dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya
sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat
berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid
akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang
sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada
jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah
cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya
pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian
ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai
Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama
sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai
daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan.
Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng,
tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan
ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri
Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad
Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan
pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber
ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mengambil
Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa berhasil
mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada
lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah orang yang mendapatkan ilmu
dari sang guru. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh
membantah apalagi menentang perintah sang guru (kecuali jika gurunya
mengajarkan ajaran yang tercela dan bertentangan dengan syariat Islam maka sang
murid wajib tidak menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh
membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri
Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di
pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai
Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan kambing. Kyai Hasyim disuruh
membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada
muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung
penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo
(mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau terima titah gurunya
itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari
gunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah
yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu
teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah
dari KH Cholil Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel seperti ini,
mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan
lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu
nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang
diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah
memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan
sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil
termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Maka
diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,”
tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin
pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir
(septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera
meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan diijini.
Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar septictank
(kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana dan isinya apa
saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya kepada guru tidak pikir
panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan dikeluarkan isinya.
Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh dengan kotoran,
akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat muridnya telah
berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai
Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan.
Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH Cholil
Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada yang memungkiri
bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar. Mengapa bisa begitu?
Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi pilihan, beliau mendapat “berkah”
dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
Tidak ada komentar: