KUMPULAN PUISI SASTRA TERBAIK INDONESIA
A. Kumpulan Puisi Karya Chairil
Anwar
1. PRAJURIT
JAGA MALAM
Karya : Chairil
Anwar
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa
nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang
tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah
mati ini
Aku suka pada mereka yang berani
hidup
Aku suka pada mereka yang masuk
menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut
debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa
nasib waktu !
2. MALAM
Karya : Chairil
Anwar
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
-Thermopylae?
- jagal tidak dikenal ?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
3.
KRAWANG-BEKASI
Karya :
Chairil Anwar
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak
"Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi
mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap
hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding
yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang
diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai
tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk
kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi
bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di
malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding
yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas
pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi
debu
Beribu kami terbaring antara
Krawang-Bekasi
4. DIPONEGORO
Karya : Chairil
Anwar
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus
kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa
mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru
tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
5. PERSETUJUAN
DENGAN BUNG KARNO
Karya : Chairil
Anwar
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari
kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami
lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat
di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno ! Kau dan aku satu zat
satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita
bertolak & berlabuh
6. AKU
Karya : Chairil
Anwar
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
7. PENERIMAAN
Karya : Chairil
Anwar
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku
dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan
berbagi.
8. HAMPA
Karya : Chairil
Anwar
Kepada Sri
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum
apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.
9. DOA
Karya : Chairil
Anwar
kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cahayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
10. SAJAK PUTIH
Karya : Chairil
Anwar
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan
melati
Harum rambutmu mengalun bergelut
senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak
membelah...
11. SENJA DI
PELABUHAN KECIL
Buat : Sri
Ajati
Karya : Chairil
Anwar
Ini kali tidak ada yang mencari
cinta
di antara gudang, rumah tua, pada
cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu
tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau
berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga
kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari
berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak
bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang
ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap
harap
sekali tiba di ujung dan sekalian
selamat jalan
dari pantai keempat, sedu
penghabisan bisa terdekap
12. CINTAKU
JAUH DI PULAU
Karya : Chairil
Anwar
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar.
angin membantu, laut terang, tapi
terasa
aku tidak kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin
mendayu,
di perasaan penghabisan segala
melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku
saja,"
Amboi ! Jalan sudah bertahun ku
tempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ku mati, dia mati iseng
sendiri.
13. MALAM DI
PEGUNUNGAN
Karya : Chairil
Anwar
Aku berpikir : Bulan inikah yang
membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat
jawab kepingin :
Eh, ada bocah cilik main kejaran
dengan bayangan!
14. YANG
TERAMPAS DAN YANG PUTUS
Karya : Chairil
Anwar
kelam dan angin lalu mempesiang
diriku,
menggigir juga ruang di mana dia
yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi
semati tugu
di Karet, di Karet (daerahku y.a.d)
sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam
diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah
baru padamu
tapi kini hanya tangan yang bergerak
lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan
peristiwa berlalu beku
15. DERAI DERAI
CEMARA
Karya : Chairil
Anwar
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap
merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah
rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak
terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
16.
KEHIDUPAN
Karya : Chairil
Anwar
Hari hari lewat, pelan tapi pasti
Hari ini aku menuju satu puncak
tangga yang baru
Karena aku akan membuka lembaran
baru
Untuk sisa jatah umurku yang baru
Daun gugur satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Umurku bertambah satu-satu
Semua terjadi karena ijin Allah
Tapi… coba aku tengok kebelakang
Ternyata aku masih banyak berhutang
Ya, berhutang pada diriku
Karena ibadahku masih pas-pasan
Kuraba dahiku
Astagfirullah, sujudku masih jauh
dari khusyuk
Kutimbang keinginanku….
Hmm… masih lebih besar duniawiku
Ya Allah
Akankah aku masih bertemu tanggal
dan bulan yang sama di tahun depan?
Akankah aku masih merasakan rasa ini
pada tanggal dan bulan yang sama di tahun depan?
Masihkah aku diberi kesempatan?
Ya Allah….
Tetes airmataku adalah tanda
kelemahanku
Rasa sedih yang mendalam adalah
penyesalanku
Astagfirullah…
Jika Engkau ijinkan hamba bertemu
tahun depan
Ijinkan hambaMU ini, mulai hari ini
lebih khusyuk dalam ibadah…
Timbangan dunia dan akhirat hamba
seimbang…
Sehingga hamba bisa sempurna sebagai
khalifahMu…
Hamba sangat ingin melihat wajahMu
di sana…
Hamba sangat ingin melihat senyumMu
di sana…
Ya Allah,
Ijikanlah
17. MALAM
Karya : Chairil
Anwar
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
-Thermopylae?
- jagal tidak dikenal ?
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang
18. RUMAHKU
Karya : Chairil
Anwar
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Kaca jernih dari segala nampak
Kulari dari gedung lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Dipagi terbang entah kemana
Rumahku dari unggun-unggun sajak
Disini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya
datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
jika menagih yang satu
19. Aku Berkaca
Karya : Chairil
Anwar
Ini muka penuh luka
Siapa punya ?
Kudengar seru menderu
dalam hatiku
Apa hanya angin lalu ?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…….!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal ………….!!
Selamat tinggal …………….!!
Dari: Deru Campur Debu
20. TJERITA
BUAT DIEN TAMAELA
Karya : Chairil
Anwar
Beta Pattiradjawane
jang didjaga datu datu
Tjuma satu
Beta Pattiradjawane
kikisan laut
berdarah laut
beta pattiradjawane
ketika lahir dibawakan
datu dajung sampan
beta pattiradjawane pendjaga hutan
pala
beta api dipantai,siapa mendekat
tiga kali menjebut beta punja nama
dalam sunyi malam ganggang menari
menurut beta punya tifa
pohon pala, badan perawan djadi
hidup sampai pagi tiba
mari menari !
mari beria !
mari berlupa !
awas ! djangan bikin bea marah
beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu !
beta ada dimalam, ada disiang
irama ganggang dan api membakar
pulau …….
beta pattiradjawane
jang didjaga datu-datu
tjuma satu
B. Kumpulan
Puisi Karya Taufiq Ismail
21. LARUT MALAM
SUARA SEBUAH TRUK
Karya : Taufiq
Ismail
Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'
22. BAGAIMANA
KALAU
Karya : Taufiq
Ismail
Bagaimana kalau dulu bukan khuldi
yang dimakan Adam,
tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat
tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya
kita rubah,
dan kepada Koes Plus kita beri
mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika
Hanoi,
dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam
sebelas,
salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan
bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata
pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang
Indonesia
dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita
angankan terjadi,
dan segala yang terjadi pernah kita
rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi
sedemikian sempurnanya sehingga di
kamar tidur kau dengar deru bom
Vietnam, gemersik sejuta kaki
pengungsi, gemuruh banjir dan gempa
bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi
industri presisi dan
margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan
protes dan rakyat kecil
mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan
saja sampai di sini dan kita
pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya
kita tidak perlu bertanya bagaimana
lagi.
23. BAYI LAHIR
BULAN MEI 1998
Karya: Taufiq
Ismail
Dengarkan itu ada bayi mengea di
rumah tetangga
Suaranya keras, menangis
berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan
bidannya
Belum kering darah dan air
ketubannya
Langsung dia memikul hutang di
bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras
orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha
kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru
runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan
mendesing
Cobalah nasihati bayi ini dengan
penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya.
24. BUKU TAMU
MUSIUM PERJUANGAN
Karya: Taufiq
Ismail
Pada tahun keenam
Setelah di kota kami didirikan
Sebuah Musium Perjuangan
Datanglah seorang lelaki setengah
baya
Berkunjung dari luar kota
Pada sore bulan November berhujan
dan menulis kesannya di buku tamu
Buku tahun keenam, halaman
seratus-delapan
Bertahun-tahun aku rindu
Untuk berkunjung kemari
Dari tempatku jauh sekali
Bukan sekedar mengenang kembali
Hari tembak-menembak dan malam
penyergapan
Di daerah ini
Bukan sekedar menatap
lukisan-lukisan
Dan potret-potret para pahlawan
Mengusap-usap karaben tua
Baby mortir buatan sendiri
Atau menghitung-hitung satyalencana
Dan selalu mempercakapkannya
Alangkah sukarnya bagiku
Dari tempatku kini, yang begitu jauh
Untuk datang seperti saat ini
Dengan jasad berbasah-basah
Dalam gerimis bulan November
Datang sore ini, menghayati musium
yang lengang
Sendiri
Menghidupkan diriku kembali
Dalam pikiran-pikiran waktu gerilya
Di waktu kebebasan adalah impian
keabadian
Dan belum berpikir oleh kita masalah
kebendaan
Penggelapan dan salahguna
pengatasnamaan
Begitulah aku berjalan pelan-pelan
Dalam musium ini yang lengang
Dari lemari kaca tempat
naskah-naskah berharga
Kesangkutan ikat-ikat kepala,
sangkur-sangkur
berbendera
Maket pertempuran
Dan penyergapan di jalan
Kuraba mitraliur Jepang, dari baja
hitam
Jajaran bisu pestol Bulldog, pestol
Colt
PENGOEMOEMAN REPOEBLIK yang mulai
berdebu
Gambar lasykar yang kurus-kurus
Dan kuberi tabik khidmat dan diam
Pada gambar Pak Dirman
Mendekati tangga turun, aku menoleh
kembali
Ke ruangan yang sepi dan dalam
Jendela musium dipukul angin dan
hujan
Kain pintu dan tingkap bergetaran
Di pucuk-pucuk cemara halaman
Tahun demi tahun mengalir
pelan-pelan
Deru konvoi menjalari lembah
Regu di bukit atas, menahan nafas
Di depan tugu dalam musium ini
Menjelang pintu keluar ke tingkat
bawah
Aku berdiri dan menatap nama-nama
Dipahat di sana dalam keping-keping
alumina
Mereka yang telah tewas
Dalam perang kemerdekaan
Dan setinggi pundak jendela
Kubaca namaku disana.....
GUGUR DALAM PENCEGATAN
TAHUN EMPATPULUH-DELAPAN
Demikian cerita kakek penjaga
Tentang pengunjung lelaki setengah
baya
Berkemeja dril lusuh, dari luar kota
Matanya memandang jauh, tubuh amat
kurusnya
Datang ke musium perjuangan
Pada suatu sore yang sepi
Ketika hujan rinai tetes-tetes di
jendela
Dan angin mengibarkan tirai serta
pucuk-pucuk cemara
Lelaki itu menulis kesannya di buku-tamu
Buku tahun-keenam, halaman
seratus-delapan
Dan sebelum dia pergi
Menyalami dulu kakek Aki
Dengan tangannya yang dingin aneh
Setelah ke tugu nama-nama dia
menoleh
Lalu keluarlah dia, agak terseret
berjalan
Ke tengah gerimis di pekarangan
Tetapi sebelum ke pagar halaman
Lelaki itu tiba-tiba menghilang
25. DARI
CATATAN SEORANG DEMONSTRAN
Karya: Taufiq
Ismail
Inilah peperangan
Tanpa jenderal, tanpa senapan
Pada hari-hari yang mendung
Bahkan tanpa harapan
Di sinilah keberanian diuji
Kebenaran dicoba dihancurkn
Pada hari-hari berkabung
Di depan menghadang ribuan lawan
26. Dari Ibu
Seorang Demonstran
Karya: Taufiq
Ismail
"Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini"
Ya, ibu tahu, mereka tidak
menggunakan gada
Atau gas airmata
Tapi langsung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama
kalian
(Ibu itu tersedu sedan)
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walapun betapa zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada
Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta
pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan ibu
dicinta
Beberapa saat tangannya meraba
rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata)
27. DOA
Karya: Taufiq
Ismail
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun-tahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan AsmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
28. Jalan
Segara
Karya: Taufiq
Ismail
Di sinilah penembakan
Kepengecutan
Dilakukan
Ketika pawai bergerak
Dalam panas matahari
Dan pelor pembayar pajak
Negeri ini
Ditembuskan ke pungung
Anak-anaknya sendiri
29. JAWABAN
DARI POS TERDEPAN
Karya : Taufiq
Ismail
Kami telah menerima surat saudara
Dan sangat paham akan isinya
Tetapi tentang pasal penyerahan
Itu adalah suatu penghinaan
Konvoi sejam lamanya menderu
Di kota. Api kavaleri
memancar-mancar
Di roda-rantai dan aspal
Angin meniup dalam panas dan abu
Abu baja. Nyala yang
menggeletar-geletar
Sepanjang suara
Kami yang bertahan
Beberapa ratus meter jauhnya
Bukanlah serdadu-serdadu bayaran
Atau terpaksa berperang karena
pemerintahan
Kebebasan manusia di atas buminya
Adalah penyebab hadir pasukan ini
Dan pasukan-pasukan lainnya
Impian akan harga kemerdekaan
manusia
mengumpulkan seorang tukang cukur,
penanam-penanam sayur
gembala-gembala, (semua buta huruf)
kecuali dua anak SMT
sopir taksi dan seorang mahasiswa
kedokteran
dalam pasukan
di pos terdepan ini
Terik dan lengang dipandang tak
bertuan
Abu naik perlahan dari bumi
Bumi yang telah diungsikan
Guruh dari jauh, konvoi menderu
Suara panser dan tank-tank kecil
Mengacukan senjata-senjata baru
Kami tidak punya batalion paratroop
Cadangan sulfa, apalagi mustang dan lapis-baja
Kami hanya memiliki karaben-karaben
tua
Bahkan bambu pedesaan, ujungnya
diruncingkan
Pasukan ini tak bicara dalam bahasa
akademi militer
Tidak juga memiliki pengalaman
perang dunia
Tetapi untuk kecintaan akan
kebebasan manusia
Di atas buminya
Pasukan ini sudah menetapkan
harganya
Sebentar lagi malampun akan turun
membawa kesepian ajal adalam gurun
Tidakkah engkau bisa menempatkan
diri
sebentar, di tempat kami
Memikirkan bahwa ibumu tua
diungsikan
tersaruk-saruk berjalan kaki
Setelah rumah-rumah di kampungmu
dibakari
setelah adik kandungmu ditembak mati
Adakah demi lain, yang mengatasi
demi kemanusiaan ?
Adakah ?
Di seberang sini berjaga pengawalan
Tanpa gardu dan kemah, berbaju lusuh
dalam semak
Dialah yang terdepan dengan sepucuk
Lee & Field
Dialah huruf pertama dari Republik
30. Sajak-sajak
Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air
Karya: Taufiq
Ismail
KALIAN CETAK KAMI JADI BANGSA
PENGEMIS,
LALU KALIAN PAKSA KAMI
MASUK MASA PENJAJAHAN BARU,
Kata Si Toni
Kami generasi yang sangat kurang
rasa percaya diri
Gara-gara pewarisan nilai, sangat
dipaksa-tekankan
Kalian bersengaja menjerumuskan
kami-kami
Sejak lahir sampai dewasa ini
Jadi sangat tepergantung pada budaya
Meminjam uang ke mancanegara
Sudah satu keturunan jangka waktunya
Hutang selalu dibayar dengan hutang
baru pula
Lubang itu digali lubang itu juga
ditimbuni
Lubang itu, alamak, kok makin besar
jadi
Kalian paksa-tekankan budaya
berhutang ini
Sehingga apa bedanya dengan mengemis
lagi
Karena rendah diri pada
bangsa-bangsa dunia
Kita gadaikan sikap bersahaja kita
Karena malu dianggap bangsa miskin
tak berharta
Kita pinjam uang mereka membeli
benda mereka
Harta kita mahal tak terkira, harga
diri kita
Digantung di etalase kantor
Pegadaian Dunia
Menekur terbungkuk kita berikan
kepala kita bersama
Kepada Amerika, Jepang, Eropa dan
Australia
Mereka negara multi-kolonialis
dengan elegansi ekonomi
Dan ramai-ramailah mereka pesta
kenduri
Sambil kepala kita dimakan begini
Kita diajarinya pula tata negara dan
ilmu budi pekerti
Dalam upacara masuk masa penjajahan
lagi
Penjajahnya banyak gerakannya penuh
harmoni
Mereka mengerkah kepala kita
bersama-sama
Menggigit dan mengunyah teratur
berirama
Sedih, sedih, tak terasa jadi bangsa
merdeka lagi
Dicengkeram kuku negara
multi-kolonialis ini
Bagai ikan kekurangan air dan zat
asam
Beratus juta kita menggelepar
menggelinjang
Kita terperangkap terjaring di jala
raksasa hutang
Kita menjebakkan diri ke dalam
krangkeng budaya
Meminjam kepeng ke mancanegara
Dari membuat peniti dua senti
Sampai membangun kilang gas bumi
Dibenarkan serangkai teori penuh
sofistikasi
Kalian memberi contoh hidup boros
berasas gengsi
Dan fanatisme mengimpor barang luar
negeri
Gaya hidup imitasi, hedonistis dan
materialistis
Kalian cetak kami jadi Bangsa
Pengemis
Ketika menadahkan tangan serasa
menjual jiwa
Tertancap dalam berbekas, selepas
tiga dasawarsa
Jadilah kami generasi sangat kurang
rasa percaya
Pada kekuatan diri sendiri dan
kayanya sumber alami
Kalian lah yang membuat kami jadi
begini
Sepatutnya kalian kami giring ke
lapangan sepi
Lalu tiga puluh ribu kali, kami
cambuk dengan puisi ini
31. KEMBALIKAN
INDONESIA PADAKU
kepada Kang
Ilen
Karya: Taufiq
Ismail
Hari depan Indonesia adalah dua
ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah
bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian
hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah
pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti
telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau
Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu
juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah
sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau
Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian
angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua
ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola
lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah
angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau
Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu
15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah
pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti
telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau
Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah
bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian
hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku
32. KETIKA BURUNG
MERPATI SORE MELAYANG
Karya: Taufiq
Ismail
Langit akhlak telah roboh di atas
negeri
Karena akhlak roboh, hukum tak tegak
berdiri
Karena hukum tak tegak, semua jadi
begini
Negeriku sesak adegan tipu-menipu
Bergerak ke kiri, dengan maling
kebentur aku
Bergerak ke kanan, dengan perampok
ketabrak aku
Bergerak ke belakang, dengan
pencopet kesandung aku
Bergerak ke depan, dengan penipu
ketanggor aku
Bergerak ke atas, di kaki pemeras
tergilas aku
Kapal laut bertenggelaman, kapal
udara berjatuhan
Gempa bumi, banjir, tanah longsor
dan orang kelaparan
Kemarau panjang, kebakaran hutan
berbulan-bulan
Jutaan hektar jadi jerebu abu-abu
berkepulan
Bumiku demam berat, menggigilkan air
lautan
Beribu pencari nafkah dengan kapal
dipulangkan
Penyakit kelamin meruyak tak tersembuhkan
Penyakit nyamuk membunuh bagai
ejekan
Berjuta belalang menyerang lahan
pertanian
Bumiku demam berat, menggigilkan air
lautan
Lalu berceceran darah, berkepulan
asap dan berkobaran api
Empat syuhada melesat ke langit dari
bumi Trisakti
Gemuruh langkah, simaklah, di
seluruh negeri
Beribu bangunan roboh, dijarah dalam
huru-hara ini
Dengar jeritan beratus orang
berlarian dikunyah api
Mereka hangus-arang, siapa dapat
mengenal lagi
Bumiku sakit berat, dengarlah angin
menangis sendiri
Kukenangkan tahun ‘47 lama aku jalan
di Ambarawa dan Salatiga
Balik kujalani Clash I di Jawa,
Clash II di Bukittinggi
Kuingat-ingat pemboman Sekutu dan
Belanda seantero negeri
Seluruh korban empat tahun revolusi
Dengan Mei ‘98 jauh beda, jauh kalah
ngeri
Aku termangu mengenang ini
Bumiku sakit berat, dengarlah angin
menangis sendiri
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
Ke daun telingaku, jari Tuhan
memberi jentikan
Ke ulu hatiku, ngilu tertikam cobaan
Di aorta jantungku, musibah
bersimbah darah
Di cabang tangkai paru-paruku, kutuk
mencekik nafasku
Tapi apakah sah sudah, ini murkaMu?
Ada burung merpati sore melayang
Adakah desingnya kau dengar sekarang
33. KETIKA
INDONESIA DIHORMATI DUNIA
Karya: Taufiq
Ismail
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan
umum setengah
abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum
pertama itu
kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya
di tahun lima
puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru
sepuluh tahun
merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling
indah dalam
sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat
bersih dalam
sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan
jurdil, istilah
jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur
dan adil cuma
dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta
demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan,
pesta demokrasi cuma
dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan
bersama
Demokrasi yang berarti menghargai
pendapat berbeda
Pada waktu itu tak ada huru-hara
yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun
darah
ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa
melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil
pun digulingkan
lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun
bangunan disulut api
berkobar
Pada waktu itu tidak ada
suap-menyuap, tak terdengar
sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan
suara, tak ada
kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia
dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik
berhias
senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun
dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari
kebringasan, jauh dari
keganasan
Tapi enam belas tahun kemudian,
dalam 7 pemilu
berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50
sentimeter persegi
dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak,
bendera partai
mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah
jadi rasa dendam
dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah
darah, lalu
berkelahi dan
berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan
bangunan
dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia,
satu-satu ketemu di
jalan, mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan
apalagi ratusan di
lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap
kendaraan,
melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus
oblong disablon, di
tangan bendera
berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam
sepuluh kalimat
semboyan dan
slogan
Berubah mereka jadi beringas dan
siap mengamuk,
melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan,
pentungan
diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan
mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini
kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan
indah, pernah
kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu
merubah perilaku
Bangsaku.
34. KETIKA
SEBAGAI KAKEK DI TAHUN 2004, KAU MENJAWAB PERTANYAAN CUCUMU
Karya: Taufiq
Ismail
Cucu kau tahu, kau menginap di DPR
bulan Mei itu
Bersama beberapa ribu kawanmu
Marah, serak berteriak dan
mengepalkan tinju
Bersama-sama membuka sejarah halaman
satu
Lalu mengguratkan baris pertama bab
yang baru
Seraya mencat spanduk dengan teks
yang seru
Terpicu oleh kawan-kawan yang
ditembus peluru
Dikejar masuk kampus, terguling di
tanah berdebu
Dihajar dusta dan fakta dalam berita
selalu
Sampai kini sejak kau lahir dahulu
Inilah pengakuan generasi kami,
katamu
Hasil penataan dan penataran yang
kaku
Pandangan berbeda tak pernah diaku
Daun-daun hijau dan langit biru,
katamu
Daun-daun kuning dan langit kuning,
kata orang-orang itu
Kekayaan alam untuk bangsaku, katamu
Kekayaan alam untuk nafsuku, kata
orang-orang itu
Karena tak mau nasib rakyat selalu
jadi mata dadu
Yang diguncang-guncang genggaman
orang-orang itu
Dan nomor yang keluar telah
ditentukan lebih dulu
Maka kami bergeraklah kini, katamu
Berjalan kaki, berdiri di atap bis
yang melaju
Kemeja basah keringat, ujian
semester lupakan dulu
Memasang ikat kepala,
mengibar-ngibarkan benderamu
Tanpa ada pimpinan di puncak
struktur yang satu
Tanpa dukungan jelas dari yang memegang
bedil itu
Sudahlah, ayo kita bergerak saja
dulu
Kita percayakan nasib pada Yang Satu
Itu.
35. Kita adalah
Pemilik Sah Republik ini
Karya: Taufiq
Ismail
Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
"Duli Tuanku?"
Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu,
yang di tepi jalan
Mengacungkan tangat untuk oplet dan
bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang
bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk
dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang
namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan
dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa
suara
Tidak ada pilihan lagi. Kita harus
Berjalan terus
36. KUTAHU KAU
KEMBALI JUA ANAKKU
Karya: Taufiq
Ismail
Saudara-kandungku pulang perang,
tangannya merah
Kedua pundak landai tiada tulang
selangka
Dia tegak goyah, pandangnya pada
kami satu-satu
Aku tahu kau kembali jua anakku
Tiba-tiba dia roboh di halaman dia
kami papah
Ibu pun perlahanmengusapi dahinya
tegar
Tanganku amis ibu, tanganku berdarah
Aku tahu kau kembali jua anakku
Siang itu dia tergolek ibu, lekah
perutnya
Aku tak membidiknya, tapi tanganku
bersimbah
Tunduk terbungkuk matanya sangat
papa
Kami sama rebah, kupeluk dia di
tanah
Kauketuk sendiri ambang dadamu
anakku
Usapkan jemari sudah berdarah
Simpan laras bedil yang memerah
Kutahu kau kembali jua anakku
37. MALU (AKU)
JADI ORANG INDONESIA
Karya: Taufiq
Ismail
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah
tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi
Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat
diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari
Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone
namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran
Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point
Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice
University
Dia sudah pensiun perwira tinggi
dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk
kini
Langit akhlak rubuh, di atas
negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard,
Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan
Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées
dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di
belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
Di negeriku, selingkuh birokrasi
peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan
birokrasi
berterang-terang curang susah dicari
tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak
perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman
dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku
tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian
alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal
selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas
safari,
Di kedutaan besar anak presiden,
anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani
seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen
sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara
pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat
jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung
rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar,
majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang
tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang
jelata
supaya berdiri pusat belanja modal
raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi
syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya
jenazah,
sekarang saja sementara mereka
kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di
dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan
dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan
secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar
dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena
dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan
sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap,
mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar
disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik
tingkat
jadi pertunjukan teror penonton
antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi
keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma
urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita
tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi
penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan,
penculikan
dan penyiksaan rakyat
terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya
terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil
ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di
dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari
bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas
menuai padi.
Langit akhlak rubuh, di atas
negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong
berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard,
Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan
Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées
dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di
belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
38. Memang
selalu demikian, Hadi
Karya: Taufiq
Ismail
Setiap perjuangan selalu melahirkan
Sejumlah pengkhianat dan para
penjilat
Jangan kau gusar, Hadi
Setiap perjuangan selalu
menghadapkan kita
Pada kaum yang bimbang menghadapi
gelombang
Jangan kau kecewa, Hadi
Setiap perjuangan yang akan menang
Selalu mendatangkan pahlawan
jadi-jadian
Dan para jagoan kesiangan
Memang demikianlah halnya, Hadi
39. MENCARI
SEBUAH MESJID
Karya: Taufiq
Ismail
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di
hutan
fondasinya batu karang dan
pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya
awan
dan kubahnya tembus pandang,
berkilauan
digosok topan kutub utara dan
selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh
dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi
Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat
beraturan
serta sarang lebah demikian
geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang
menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang
dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda
benang emas
yang memperindah ratusan juta
sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk
ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau
kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar
biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di
sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak
terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang
membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu
kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata
masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan
jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya
berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah
mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang
beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia
dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun
tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah
itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang
sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang
mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti
matahari
ketika di puncak tergelincir dia
sempat
lewat seperempat kuadran turun ke
barat
dan terdengar merdunya azan di
pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke
kanan
ketika seorang tak kukenal membawa
sebuah gulungan
dia berkata :
"Inilah dia masjid yang dalam
pencarian tuan"
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia
bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah
pancuran
airnya bening dan dingin mengalir
beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu
menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga
secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin
kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
40. NASEHAT-NASEHAT
KECIL ORANG TUA
PADA ANAKNYA
BERANGKAT DEWASA
Karya: Taufiq
Ismail
Jika adalah yang harus kaulakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa
dijual-belikan
Ialah ang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau
tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kezaliman
Jika adalah orang yang harus
kauagungkan
Ialah hanya Rasul Tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid di jalan Ilahi
41. PRESIDEN
BOLEH PERGI, PRESIDEN BOLEH DATANG
Karya: Taufiq
Ismail
Sebuah orde tenggelam
sebuah orde timbul
tapi selalu saja ada suatu lapisan
masyarakat di atas gelombang itu
selamat
Mereka tidak mengalami guncangan
yang berat
Yang selalu terapung di atas
gelombang
Seseorang dianggap tak bersalah
sampai dia dibuktikan hukum bersalah
Di negeri kami ungkapan ini begitu
indah
Kini simaklah sebuah kisah
Seorang pegawai tinggi gajinya satu
setengah juta rupiah
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW
abu-abu,
Honda metalik, dan Mercedes merah
Anaknya sekolah di Leiden,
Montpellier dan Savana
Rumahnya bertebaran di Menteng,
Kebayoran dan macam-macam indah
Setiap semester ganjil istri
terangnya belanja di Hongkong dan Singapura
Setiap semester genap istri gelapnya
liburan di Eropa dan Afrika
Anak-anaknya ....
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga
apotik dan empat biro jasa
Selain sepupu dan kemenakannya buka
lima toko onderdil,
lima biro iklan, dan empat pusat
belanja.
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepeleset macet dan hancur jadi bubur,
dia, hah!
dia ketawa terbahak-bahak karena
depositonya dolar Amerika semua
Sesudah matahari dua kali tenggelam
di langit Barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh
kali lipat
Krisis makin menjadi-jadi
Di mana-mana orang antri
Maka 100 kotak kantong plastik hitam
dia bagi-bagi
Isinya masing-masing:
Lima genggam beras, empat cangkir
minyak goreng,
dan tiga bungkus mie cepat jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua
menit di kotak televisi
dan masuk koran halaman lima pagi
sekali
Gelombang mau datang,
Datang lagi gelombang setiap bah air
pasang
Dia senantiasa terapung di atas banjir
bandang
Banyak orang tenggelam toh mampu
timbul lagi
lalu ia berkata sambil berdiri:
Yaaa... masing-masing kita kan punya
sejeki sendiri-sendiri
Seperti bandul jam bergoyang-goyang
kekayaan misterius mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kakayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... mau diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
Kekayaan... harus diperiksa
Kekayaan... tidak jadi diperiksa
(Dibacakan di beberapa pentas baca
puisi di Jakarta)
42. Rindu Pada
Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta
Karya: Taufiq
Ismail
I.
Di awal abad 21, pada suatu Subuh
pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,
Hampir tak ada kabut tercantum di
leher Singgalang dan Merapi, yang belum
dilangkahi matahari,
Lalu lintas kota kecil ini dapat
dikatakan masih begitu sunyi,
Menurun aku di Janjang Ampek Puluah,
melangkah ke Aue Tajungkang,
berhenti aku di depan rumah
kelahiran Bung Hatta,
Di rumah beratap seng nomor 37
itulah, di awal abad 20, lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan
alphabet cita-cita bangsa di
langit pemikirannya dan merancang
peta Negara di atas prahara sejarah
manusianya,
Dia tak suka berhutang. Sahabat
karibnya, Bung Karno, kepada
gergasi-gergasi dunia itu bahkan
berteriak, "Masuklah kalian ke neraka
dengan uang yang kalian samarkan
dengan nama bantuan, yang pada
hakekatnya hutang itu".
Suara lantang 39 tahun yang silam
itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut
di Kali Brantas, menyelam di Laut
Banda, melintas di Selat Makassar,
hilang di arus Sungai Mahakam,
kemudian tersangkut di tenggorokan 200
juta manusia,
Dua ratus juta manusia itu,
terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki,
di abad kini. Petinggi negeri di
lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk
antri, membawa kaleng kosong bekas
cat minta sekedarnya diisi. Setiap
mereka pulang, hutang menggelombang,
setiap bayi lahir langsung dua puluh
juta rupiah berkalung hutang, baru
akan lunas dua generasi mendatang.
II.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi,
aku merenung di depan rumah beratap
seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini,
yang di awal abad 20 lalu tempat
lahir seorang bayi laki-laki
Aku mengenang negarawan jenius ini
dengan rasa penuh hormat karena
rangkaian panjang mutiara sifat:
tepat waktu, tunai janji, ringkas
bicara, lurus jujur, hemat serta
bersahaja,
Angku Hatta, adakah garam
sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku, Angku lebih
suka garam dan tak gemar gincu.
Tujuh windu sudah berlalu, aku
menyusun sebuah senarai perasaan rindu,
Rindu pada sejumlah sifat dan nilai,
yang kini kita rasakan hancur
bercerai-berai,
Kesatuan sebagai bangsa, rasa
bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan
sejarah dengan pengalaman derita dan
suka, inilah kerinduan yang luput
dari sekitar kita,
Kita rindu pada penampakan dan isi
jiwa bersahaja, lurs yang tabung,
waktu yang tepat berdentang, janji
yang tunai, kalimat yang ringkas
padat, tata hidup yang hemat,
Tiba-tiba kita rindu pada Bung
Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon
putihnya, symbol perlawanan pada
disain hedonisme dunia, tidak sudi
berhutang, kesederhanaan yang
berkilau gemilang,
Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa
hidup bersahaja. Terperangkap dalam
krangkeng baja materialisme, boros
dan jauh dari hemat, agenda serba
bendaku ditentukan oleh merek 1000
produk impor, iklan televise dan gaya
hidup imitasi,
Bicara ringkas. Susah benar aku
melisankan fikiran secara padat. Agaknya
genetika Minang dalam rangkaian
kromosomku mendiktekan sifat bicaraku
yang berpanjang-panjang. Angk
Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas
dan padat? Teratur dan
apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang
di Jalan Diponegoro, yang begitu
tertib dan resik,
Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat
waktu untuk sebuah bangsa yang
selalu terlambat. Dari seribu rapat,
sembilan ratus biasanya telat.
Kegiatanku yang tepat waktu
satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.
Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan
apa yang mesti dibangun di dalam
sebuah pribadi supaya orang bisa
selalu jujur? Jujur dalam masalah
rezeki, jujur kepada isteri, jujur
kepada suami, jujur kepada diri
sendiri, jujur kepada orang banyak,
yang bernama rakyat? Rakyat yang di
tipu terus-menerus itu.
Ketika kita rindu bersangatan kepada
sepasang jas putih dan pantaloon
putih itu, kita mohonkan kepada
Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat
luhur yang telah hancur berantakan,
kepada kita utuh dikembalikan.
III.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi,
di depan rumah beratap seng di Aue
Tajungkang nomor 37 ini aku menengok
ke kanan dan ke kiri, kemudian aku
masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu
menatap potret dinding aku berdiri,
Tampaklah Bung Hatta di antara
rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba
Bung Hatta keluar dari gambar sepia
itu.
Kemudian Bung Hatta berkata:
"Ceritakan Indonesia kini menurut kamu"
Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu
ambo kini. Angku, saya mengadu
kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan
tak habis-habis. Krisis ekonomi,
politik, penegakan hokum,
pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan,
kekerasan, pertumpahan darah,
pemecah-belahan, dan di atas semua itu,
krisis akhlak bangsa,
"Otoritarianisme panjang
menyuburkan perilaku materialistic, tamak,
serakah, tipu-menipu, konspiratif,
mengutamakan keluarga dekat,
memenangkan golongan sendiri, dan
tingkah laku feodalistik,
Krisis nilai luhur merubah potret
wajah bangsa menjadi anarkis,
bringas, ganas, tak bersedia kalah,
tak segan memfitnah, memaksakan
kehendak, pendendam, perusak,
pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api,
batu, peluru, puing mayat, asap dan
bom sampai ke seluruh muka bumi,
Tetapi tentang bom itu, nanti dulu.
Sepuluh dua puluh tahun lagi,
lihat, akan terungkap apa sebenarnya
sandiwara besar skenario dunia yang
dipaksakan hari ini.
Mentang-mentang.
Aku menarik nafas. Bung Hatta diam.
Tak ada senyum di wajahnya
Angku Hatta. Harga apa saja di
Indonesia naik semua, kecuali satu.
Harga nyawa. Nyawa murah dan luar
biasa jatuh nilainya. Di setiap demo
orang mati. Tahanan polisi gampang
mati. Pencuri motor dibakar mati.
Anak-anak sekolah belasan tahun
dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan
ringan membunuh temannya lain
sekolah. Mahasiswa senior yang garang
menggasak, menggampar, menyiksa
juniornya sampai mati. Tahun depan
pembunuhan di kampus lain di ulang
lagi. Dendam dipelihara dan
diturunkan"
Sesak nafasku. Bung Hatta diam.
Matanya merenung jauh.
Alkohol, nikotin, judi, madat, putau,
ganja dan sabu-sabu telah meruyak
dan mencengkeram negeri kita, mudah
dibeli di tepi jalan, di sekolah, di
mana-mana. Indonesia telah menjadi
sorga pornografi paling murah di
dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak
SLTP dengan mudah bisa membeli VCD
coitus lelaki-perempuan kulit putih
60 menit, 6 posisi dan 6 warna.
Anak-anak SD membaca komik cabul
dari Jepang. Di televisi peselingkuhan
dianjurkan dan diajarkan."
Gelombang hidup permisif, gaya serba
boleh ini melanda penulis-penulis pula.
Penulis-penulis perempuan, muda
usia, berlomba mencabul-cabulkan karya,
asyik menggarap wilayah selangkang
dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan
Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka
melakukan rekonstruksi dan
dekonstruksi daftar instruksi posisi
syahwat selangkangan abad 21 yang
posmo perineum ini.
Dari uap alkohol, asap nikotin dan
narkoba, dari bau persetubuhan liar
20 juta keeping VCD biru, dari
halaman-halaman komik dan buku cabul
menyebar hawa lendir yang mirip
aroma bangkai anak tikus terlantar tiga
hari di selokan pasar desa ke
seluruh negeri.
Aku melihat orang-orang menutup
hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya"
Jan aku tenan isin sakpore, sakpore,
isin buanget dadi wong Indonesia,
Lek asane dadi nak Indonesia,
Masiripka mancaji to Indonesia,
Jelema Indonesia? Eraeun urang,
eraeun,
Malu ambo, sabana malu jadi urang
Indonesia,!(*)
Malu aku jadi orang Indonesia.
(*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda
dan Minangkabau.
Aku berhenti bicara. Bung Hatta
masih tetap diam. Matanya merenung sangat
jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya
menghilang.
IV
Indonesia tersaruk-saruk.
Terpincang-pincang dan sempoyongan,
Dicambuki krisis demi krisis seperti
tak habis-habis.
Indonesia kini sedang menangis.
Dari status Negeri Cobaan,
Dia turun derajat menjadi Negeri
Azab,
Dan kini sedang bergerak merosot
kearah Negeri Kutukan.
Indonesia tak habis-habis menangis.
Kusut, masai,
Nestapa, duka,
Pengap dan gelap.
Dari dalam sumur berlumpur ini,
Dari dasar tubir yang menyesakkan
nafas ini
Kami menengadah ke atas,
Masih melihat sepotong langit
Dan mengharapkan cahaya.
Kami tetap berikhtiar,
Terus bekerja keras
Seraya menggumamkan doa.
Tuhan,
Jangan biarkan negeri kami
Yang kini sudah menjadi Negeri Azab,
Bergerak merosot kea rah Negeri
Kutukan.
Tuhan,
Mohon,
Jangan ditolak
Do'a kami.
43. SALEMBA
Karya: Taufiq
Ismail
Alma Mater, janganlah bersedih
Bila arakan ini bergerak pelahan
Menuju pemakaman
Siang ini
Anakmu yang berani
Telah tersungkur ke bumi
Ketika melawan tirani
44. Sebuah
Jaket Berlumur Darah
Karya: Taufiq
Ismail
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah berbagi duka yang agung
Dalam kepedihan berahun-tahun
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan 'Selamat tinggal
perjuangan'
Berikrar setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang
pelayan?
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli
pelabuhan
teriakan-teriakan di atas bis kota,
pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
LANJUTKAN PERJUANGAN
45. SERATUS
JUTA
Karya: Taufiq
Ismail
Umat miskin dan penganggur berdiri
hari ini
Seratus juta banyaknya
Di tengah mereka tak tahu akan
berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa
kerja
berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya
Kita mesti berbuat sesuatu, betapun
sukarnya.
46. SYAIR EMPAT
KARTU DI TANGAN
Karya: Taufiq
Ismail
Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang
Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang
Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa
Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa
Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah
Ideologiku begitu jelas
ideologi rupiah
Begini kawan, bila dadaku jalani
pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan
Asas tunggalku
memang keserakahan.
47. TAKUT 66,
TAKUT 98
Karya: Taufiq
Ismail
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
takut '66, takut '98 - 1998
48. TENTANG
SERSAN NURCHOLIS
Karya: Taufiq
Ismail
Seorang Sersan
Kakinya hilang
Sepuluh tahun yang lalu
Setiap siang
Terdengan siulnya
Di bengkel arloji
Sekali datang
Teman-temannya
Sudah orang resmi
Dengan senyum ditolaknya
Kartu anggota
Bekas pejuang
Sersan Nurcholis
Kakinya hilang
Di jaman Revolusi
Setiap siang
Terdengan siulnya
Di bengkel aroloji
49. Tuhan
Sembilan Senti
Karya: Taufiq
Ismail
Indonesia adalah sorga luar biasa
ramah bagi perokok, tapi tempat siksa
tak tertahankan bagi orang yang tak
merokok,
Di sawah petani merokok, di pabrik
pekerja merokok, di kantor pegawai
merokok, di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR
merokok, di Mahkamah Agung yang
bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong
merokok, di perkebunan pemetik buah kopi
merokok, di perahu nelayan penjaring
ikan merokok, di pabrik petasan
pemilik modalnya merokok, di
pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam
firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid
mencuri-curi merokok, di ruang kepala
sekolah ada guru merokok, di kampus
mahasiswa merokok, di ruang kuliah
dosen merokok, di rapat POMG orang
tua murid merokok, di perpustakaan
kecamatan ada siswa bertanya apakah
ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang
duduk orang bertanding merokok, di
loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang
festival merokok, di kapal penyeberangan
antar pulau penumpang merokok, di
andong Yogya kusirnya merokok, sampai
kabarnya kuda andong minta diajari
pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi
orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala,
tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok, di warung
Tegal pengunjung merokok, di restoran di
toko buku orang merokok, di kafe di
diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah
meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang
bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau
mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur
ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi
kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang
dengan cueknya mengepulkan asap rokok di
kantor atau di stopan bus, kita
ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat
penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur
pengembangbiakan nikotin paling subur di
dunia, dan kita yang tak langsung
menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung
merokok, di apotik yang antri obat
merokok, di panti pijat tamu-tamu
disilahkan merokok, di ruang tunggu
dokter pasien merokok, dan ada juga
dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang
merokok, menyandang raket badminton
orang merokok, pemain bola PSSI
sembunyi-sembunyi merokok, panitia
pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di
dalam lift gedung 15 tingkat dengan
tak acuh orang goblok merokok, di
ruang sidang ber-AC penuh, dengan
cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok
merokok,
Indonesia adalah semacam
firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang
perokok, tapi tempat siksa kubur
hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala,
tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan
mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli
hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari
telunjuk dan jari tengah mereka terselip
berhala-berhala kecil, sembilan
senti panjangnya, putih warnanya, ke
mana-mana dibawa dengan setia, satu
kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela
ruang sidang, tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan
tangan kiri. Inikah gerangan
pertanda yang terbanyak kelompok ashabul
yamiin dan yang sedikit golongan
ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di
ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut
tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud
dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan
ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati
malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah
merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit
ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15
penyakit ada dalam daging khinzir
(babi). Daging khinzir diharamkan. 4000
zat kimia beracun ada pada sebatang
rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya
ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi
jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi
dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar
perbandingan ini. Banyak yang
diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil
yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka. Kini mereka
berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap
rokok di ruangan ber-AC itu makin
pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam
hari ini, sejak tadi pagi sudah 120
orang di Indonesia mati karena
penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih
dahsyat ketimbang korban kecelakaan
lalu lintas, lebih gawat ketimbang
bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban
narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa
di negara kita, jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan
celana, dibungkus dalam kertas
berwarni dan berwarna, diiklankan dengan
indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum
menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan
sujud untuk taqarrub pada
tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan
fana dalam nikmat lewat upacara
menyalakan api dan sesajen asap
tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan
menghadapi berhala-berhala ini.
50. YANG SELALU
TERAPUNG DI ATAS GELOMBANG
Karya: Taufiq
Ismail
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum
bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini
terdengar begitu indah.
Kini simaklah sebuah kisah,
Seorang pegawai tinggi,
gajinya sebulan satu setengah juta
rupiah,
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo
hitam,
BMW abu-abu, Porsche biru dan
Mercedes merah.
Anaknya sekolah di Leiden,
Montpelier dan Savannah.
Rumahnya bertebaran di Menteng,
Kebayoran dan
Macam Macam Indah,
Setiap semester ganjil,
isteri terangnya belanja di Hongkong
dan Singapura.
Setiap semester genap,
isteri gelap liburan di Eropa dan
Afrika,
Anak-anaknya pegang dua pabrik,
tiga apotik dan empat biro jasa.
Saudara sepupu dan kemenakannya
punya lima toko onderdil,
enam biro iklan dan tujuh pusat
belanja,
Ketika rupiah anjlok terperosok,
kepleset macet dan hancur jadi
bubur,
dia ketawa terbahak- bahak
karena depositonya dalam dolar
Amerika semua.
Sesudah matahari dua kali tenggelam
di langit barat,
jumlah rupiahnya melesat sepuluh
kali lipat,
Krisis makin menjadi-jadi, di
mana-mana orang antri,
maka seratus kantong plastik hitam
dia bagi-bagi.
Isinya masing-masing lima genggam
beras,
empat cangkir minyak goreng dan tiga
bungkus mi cepat-jadi.
Peristiwa murah hati ini diliput dua
menit di kotak televisi,
dan masuk berita koran Jakarta
halaman lima pagi-pagi sekali,
Gelombang mau datang, datanglah
gelombang,
setiap air bah pasang dia senantiasa
terapung di atas banjir bandang.
Banyak orang tenggelam tak mampu
timbul lagi,
lalu dia berkata begini,
"Yah, masing-masing kita
rejekinya kan sendiri-sendiri,"
Seperti bandul jam tua yang
bergoyang kau lihatlah:
kekayaan misterius mau diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa,
kekayaan mau diperiksa,
kekayaan tidak diperiksa,
kekayaan harus diperiksa,
kekayaan tidak jadi diperiksa.
Bandul jam tua Westminster,
tahun empat puluh satu diproduksi,
capek bergoyang begini, sampai dia
berhenti sendiri,
Kemudian ide baru datang lagi,
isi formulir harta benda sendiri,
harus terus terang tapi,
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi,
karena ini soal sangat pribadi,
Selepas itu suasana hening sepi
lagi,
cuma ada bunyi burung perkutut
sekali-sekali,
Seseorang dianggap tak bersalah,
sampai dia dibuktikan hukum
bersalah.
Di negeri kami, ungkapan ini
terdengar begitu indah.
Bagaimana membuktikan bersalah,
kalau kulit tak dapat dijamah.
Menyentuh tak bisa dari jauh,
memegang tak dapat dari dekat,
Karena ilmu kiat,
orde datang dan orde berangkat,
dia akan tetap saja selamat,
Kini lihat,
di patio rumahnya dengan arsitektur
Mediterania,
seraya menghirup teh nasgitel
dia duduk menerima telepon
dari isterinya yang sedang tur di
Venezia,
sesudah menilai tiga proposal,
dua diskusi panel dan sebuah rencana
rapat kerja,
Sementara itu disimaknya lagu
favorit My Way,
senandung lama Frank Sinatra
yang kemarin baru meninggal dunia,
ditingkah lagu burung perkutut
sepuluh juta
dari sangkar tergantung di atas sana
dan tak habis-habisnya
di layar kaca jinggel bola Piala
Dunia,
Go, go, go, ale ale ale...
Tidak ada komentar: