JEJAK GURU BESAR BANGSA GUS DUR / KH. Abdurrahman Wahid
BIOGRAFI
NAMA LENGKAP
KH. Abdurrahman Wahid
TEMPAT / TANGGAL
LAHIR
Jombang, 04 Agustus
1940
AYAH
KH. A. Wahid Hasyim
IBU
Ny. Hj. Sholehah
ISTRI
Sinta Nuriyah
ANAK
Alissa Qotrunnada
Zannuba Ariffah
Chafsoh
Anita Hayatunnufus
Inayah Wulandari
Pertama kali belajar, Gus Dur kecil belajar pada sang kakek,
K.H. Hasyim Asy'ari. Saat serumah dengan kakeknya, ia diajari mengaji dan
membaca al-Qur'an. Dalam usia lima tahun ia telah lancar membaca al-Qur'an.
Pada saat sang ayah pindah ke Jakarta, di samping belajar formal di sekolah,
Gus Dur masuk juga mengikuti les privat Bahasa Belanda. Guru lesnya bernama
Willem Buhl, seorang Jerman yang telah masuk Islam, yang mengganti namanya
dengan Iskandar. Untuk menambah pelajaran Bahasa Belanda tersebut, Buhl selalu
menyajikan musik klasik yang biasa dinikmati oleh orang dewasa. Inilah pertama
kali persentuhan Gu Dur dengan dunia Barat dan dari sini pula Gus Dur mulai
tertarik dan mencintai musik klasik.
HOBI
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Gus Dur memenangkan
lomba karya tulis (mengarang)
se-wilayah kota Jakarta dan menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini
menjelaskan bahwa Gus Dur telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam
sebuah tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Gus Dur
menghiasai berbagai media massa.
Setelah lulus dari Sekolah Dasar, Gus Dur dikirim orang tuanya untuk belajar di
Yogyakarta. Pada tahun 1953 ia masuk SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama)
Gowongan, sambil mondok di pesantren Krapyak. Sekolah ini meskipun dikelola
oleh Gereja Katolik Roma, akan tetapi sepenuhnya menggunakan kurikulum sekuler.
Di sekolah ini pula pertama kali Gus Dur belajar Bahasa Inggris. Karena merasa
terkekang hidup dalam dunia pesantren, akhirnya ia minta pindah ke kota dan
tinggal di rumah Haji Junaidi, seorang pimpinan lokal Muhammadiyah dan orang
yang berpengaruh di SMEP. Kegiatan rutinnya, setelah shalat subuh mengaji pada
K.H. Ma'sum Krapyak, siang hari sekolah di SMEP, dan pada malam hari ia ikut
berdiskusi bersama dengan Haji Junaidi dan anggota Muhammadiyah lainnya.
Ketika menjadi siswa sekolah lanjutan pertama tersebut, hobi membacanya semakin
mendapatkan tempat. Gus Dur, misalnya, didorong oleh gurunya untuk menguasai
Bahasa Inggris, sehingga dalam waktu satu-dua tahun Gus Dur menghabiskan
beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya
adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping
itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre
Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin,
Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa
karya Wiill Durant yang berjudul 'The Story of Civilazation'. Selain belajar
dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa
Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran
lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur
pandai dalam bahasa Inggis, Pak Sumatri-seorang guru SMEP yang juga anggota
Partai Komunis-memberi buku karya Lenin 'What is To Be Done' . Pada saat yang
sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya
Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari paparan ini tergambar
dengan jelas kekayaan informasi dan keluasan wawasan Gus Dur.
Setamat dari SMEP Gus Dur melanjutkan belajarnya di Pesantren Tegarejo Magelang
Jawa Tengah. Pesantren ini diasuh oleh K.H. Chudhari, sosok kyai yang humanis,
saleh dan guru dicintai. Kyai Chudhari inilah yang memperkenalkan Gus Dur
dengan ritus-ritus sufi dan menanamkan praktek-praktek ritual mistik. Di bawah
bimbingan kyai ini pula, Gus Dur mulai mengadakan ziarah ke kuburan-kuburan
keramat para wali di Jawa. Pada saat masuk ke pesantren ini, Gus Dur membawa
seluruh koleksi buku-bukunya, yang membuat santri-santri lain terheran-heran.
Pada saat ini pula Gus Dur telah mampu menunjukkan kemampuannya dalam berhumor
dan berbicara. Dalam kaitan dengan yang terakhir ini ada sebuah kisah menarik
yang patut diungkap dalam paparan ini adalah pada acara imtihan-pesta akbar
yang diselenggarakan sebelum puasa pada saat perpisahan santri yang selesai
menamatkan belajar-dengan menyediakan makanan dan minuman dan mendatangkan
semua hiburan rakyat, seperti: Gamelan, tarian tradisional, kuda lumping,
jathilan, dan sebagainya. Jelas, hiburan-hiburan seperti tersebut di atas
sangat tabu bagi dunia pesantren pada umumnya. Akan tetapi itu ada dan terjadi
di Pesantren Tegalrejo.
Setelah menghabiskan dua tahun di pesantren Tegalrejo, Gus Dur pindah kembali
ke Jombang, dan tinggal di Pesantren Tambak Beras. Saat itu usianya mendekati
20 tahun, sehingga di pesantren milik pamannya, K.H. Abdul Fatah, ia menjadi
seorang ustadz, dan menjadi ketua keamanan. Pada usia 22 tahun, Gus Dur
berangkat ke tanah suci, untuk menunaikan ibadah haji, yang kemudian diteruskan
ke Mesir untuk melanjutkan studi di Universitas al-Azhar. Pertama kali sampai
di Mesir, ia merasa kecewa karena tidak dapat langsung masuk dalam Universitas
al-Azhar, akan tetapi harus masuk Aliyah (semacam sekolah persiapan). Di
sekolah ia merasa bosan, karena harus mengulang mata pelajaran yang telah
ditempuhnya di Indonesia. Untuk menghilangkan kebosanan, Gus Dur sering
mengunjungi perpustakaan dan pusat layanan informasi Amerika (USIS) dan toko-toko
buku dimana ia dapat memperoleh buku-buku yang dikehendaki.
Terdapat kondisi yang menguntungkan saat Gus Dur berada di Mesir, di bawah
pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasr, seorang nasioonalis yang dinamis, Kairo
menjadi era keemasan kaum intelektual. Kebebasan untuk mengeluarkkan pendapat
mendapat perlindungan yang cukup. Pada tahun 1966 Gus Dur pindah ke Irak,
sebuah negara modern yang memiliki peradaban Islam yang cukup maju. Di Irak ia
masuk dalam Departement of Religion di Universitas Bagdad samapi tahun 1970.
Selama di Baghdad Gus Dur mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dengan di
Mesir. Di kota seribu satu malam ini Gus Dur mendapatkan rangsangan intelektual
yang tidak didapatkan di Mesir. Pada waktu yang sama ia kembali bersentuhan dengan
buku-buku besar karya sarjana orientalis Barat. Ia kembali menekuni hobinya
secara intensif dengan membaca hampir semua buku yang ada di Universitas.
Di luar dunia kampus, Gus Dur rajin mengunjungi makam-makam keramat para wali,
termasuk makam Syekh Abdul Qadir al-Jailani, pendiri jamaah tarekat Qadiriyah.
Ia juga menggeluti ajaran Imam Junaid al-Baghdadi, seorang pendiri aliran
tasawuf yang diikuti oleh jamaah NU. Di sinilah Gus Dur menemukan sumber
spiritualitasnya. Kodisi politik yang terjadi di Irak, ikut mempengaruhi
perkembangan pemikiran politik Gus Dur pada saat itu. Kekagumannya pada
kekuatan nasionalisme Arab, khususnya kepada Saddam Husain sebagai salah satu
tokohnya, menjadi luntur ketika syekh yang dikenalnya, Azis Badri tewas
terbunuh.
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studinya ke Eropa.
Akan tetapi persyaratan yang ketat, utamanya dalam bahasa-misalnya untuk masuk
dalam kajian klasik di Kohln, harus menguasai bahasa Hebraw, Yunani atau Latin
dengan baik di samping bahasa Jerman-tidak dapat dipenuhinya, akhirnya yang
dilakukan adalah melakukan kunjungan dan menjadi pelajar keliling, dari satu
universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia menetap di Belanda selama
enam bulan dan mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia
yang tinggal di Eropa. Untuk biaya hidup dirantau, dua kali sebulan ia pergi ke
pelabuhan untuk bekerja sebagai pembersih kapal tanker. Gus Dur juga sempat
pergi ke McGill University di Kanada untuk mempelajari kajian-lkajian keislaman
secara mendalam. Namun, akhirnya ia kembali ke Indoneisa setelah terilhami
berita-berita yang menarik sekitar perkembangan dunia pesantren. Perjalanan
keliling studi Gus Dur berakhir pada tahun 1971, ketika ia kembali ke Jawa dan
mulai memasuki kehidupan barunya, yang sekaligus sebagai perjalanan awal
kariernya.
Meski demikian, semangat belajar Gus Dur tidak surut. Buktinya pada tahun 1979
Gus Dur ditawari untuk belajar ke sebuah universitas di Australia guna
mendapatkkan gelar doktor. Akan tetapi maksud yang baik itu tidak dapat
dipenuhi, sebab semua promotor tidak sanggup, dan menggangap bahwa Gus Dur
tidak membutuhkan gelar tersebut. Memang dalam kenyataannya beberapa disertasi
calon doktor dari Australia justru dikirimkan kepada Gus Dur untuk dikoreksi,
dibimbing yang kemudian dipertahankan di hadapan sidang akademik.
Tidak ada komentar: